Kanti

Kanti dan Wajah Kita Hari Ini
Saya ini enggak gila..
Saya ingin menyelamatkan anak-anak
biar enggak hidup susah
Harus mati
biar enggak sedih
kayak saya..
Kata kata di atas bukanlah puisi. Itu pernyataan Kanti, seorang ibu yang mencoba membunuh tiga anaknya dengan cara digorok lehernya.
Kejamkah Kanti? Bejatkah ia? Gilakah si ibu itu? Bukankah hanya orang gila yang membunuh anaknya sendiri. Bahkan binatangpun melindungi anak anaknya.
Tapi Kanti tak gila. Setidaknya itu pengakuannya. Ia sadar dengan pilihannya. Layaknya Khidir, ia hanya ingin selamatkan ‘masa depan’ anaknya dengan cara ekstrem: membunuh.
Lantas pada siapa kata kata ‘puitis’ itu ditujukan? Pada dirinya sendirikah? Pada polisi yang menginterogasi? Atau pada siapa saja entah itu tetangga, tokoh masyarakat, ormas, parpol, pamong desa, atau secara umum pemerintahan negara?
Kanti, yang tinggal di Brebes, mungkin masih bersyukur karena didaerahnya ia tidak menjadi bagian dari deretan kematian ibu tertinggi di Jawa Tengah. Pun Kanti juga masih bersyukur karena anaknya lolos dari deretan angka kematian bayi yang juga tertinggi di Jawa Tengah. Tapi adakah anak anak Kanti akan lolos dari deretan jerat kemiskinan dan stunting yang juga terburuk?
Faktanya apa yang dirasa Kanti adalah himpitan hidup yang tak tertahankan. Jika itu berlanjut maka akan berimbas pada anak anaknya. Kematian adalah jalan penyelematan. Begitu suara hati kanti.
Meski tak sampai membunuh, Kanti pasti tak sendiri. Ada banyak Kanti kanti lain yang tak bersuara. Besarnya angka kematian ibu, kematian bayi dan stunting adalah suara Kanti. Yakni, suara warga yang tak mampu hidup secara pantas. Suara warga yang tak berdaya menghadapi tekanan ekonomi. Suara warga yang tak mendapat keperpihakan politik. Suara warga yang tersisih dari kebijakan pembangunan. Suara warga yang terpental dari kebudayaan yang makin individualistis dan tak lagi saling peduli.
Kanti adalah wajah kita hari ini. Wajah peradaban kusam di tengah gegap gempita industri 4.0. Kanti adalah drama getir kemanusiaan dan suara sumbang dibalik kemajuan zaman.
Menyimak cerita Kanti teringat saat Amirul mukminin Umar Bin Khattab didatangi seorang juragan yang mengadukan budaknya mencuri. Begitu diselidik dengan seksama, Umar mengancam, andai si budak mencuri lagi tangan si juragan yang akan dipotong. Ini terjadi lantaran si juragan tak memenuhi hak sibudak sehingga ia harus mencuri. Dengan kata lain si juraganlah yang mencuri terlebih dulu hak budak.
Tentu kita tak lagi menemui masa Umar. Tapi andai saja ada hukum yang adil bercerita hari ini tentang Kanti, tentu ada banyak pihak yang akan mendapat sanksi lantaran ada peristiwa pembunuhan gegara himpitan hidup. Bisa jadi terdakwa itu lingkungan sosialnya yang tak peduli kehidupan Kanti. Bisa juga pamong yang tak mampu mengurus kebutuhan warganya. Pun bisa pula aparatur pemerintah negara yang tak berhasil memenuhi hak hak warga.
Mungkin kebudayaan telah senja. Kisah Kanti hanyalah deret angka. Peristiwa Kanti hanya cerita kriminal yang penuh kekejaman tanpa ditelaah lebih jauh mengapa Kanti membunuh.
Dan panggung sosial politik tetap riuh dengan urusan urusan yang begitu besar dan heroik tapi entah untuk kepentingan siapa. Sementa Suara Kanti sebentar lagi lenyap hilang ditelan bumi bersama Kanti Kanti lain.
Maret 2022