Revitalisasi Seni Tradisional

Revitalisasi Seni Tradisional
(Catatan untuk pejuang kebudayaan)
Perlahan kesenian tradisional bertumbangan. Sebagian ada yang punah. Sebagian lagi berusaha tegak meski jalan sempoyongan. Jarang kita jumpai seni tradisional tampil percaya diri dan eksis superior diera saat ini. Banyak seni tradisional keberadaannya harus ‘dititah’ dan posisinya seperti semacam prasasti atau benda museum untuk unjuk bukti bahwa kita punya khasanah masa silam.
Contoh dari bertumbangannya kesenian tradisional tergambar dari dolanan anak yang makin tidak dijumpai lagi. Anak anak sekarang umumnya tak kenal lagi jenis dolanan masalalu baik dalam wujud permainan, tarian, tembang tembang dll. Keceriaan, kebebasan, kebersamaan, kehangatan, kreatifitas anak turut surut bersamaan tenggelamnya dolanan anak.
Jika diperluas lagi, bukan hanya seni tradisi yang kian surut, tapi juga aktifitas tradisional pada umumnya utamanya dipedesan. Kegiatan bertani, termasuk kegiatan bertanam yang merupakan corak masyarakat agraris juga mulai ditinggalkan. Pertanian adalah sektor yang banyak ditinggalkan. Petani mulai alih ‘profesi’ dari pertanian kebidang bidang lain. Dan generasi muda juga kian tak tertarik lagi menggeluti dunia pertanian.
Kegiatan guyub dan gotong royong yang merupakan ciri khas masyarakat pedesaan juga kian terkikis. Termasuk berbagai berbagai upacara tradisional perlahan semakin berkurang. Hilang sama sekali tentu tidak, tapi jumlah dan intensitasnya jauh berkurang.
Mengapa kegiatan tradisional, termasuk seni didalamnya kian surut? Jawabnya adalah adanya perubahan zaman. Bangsa kita tak bisa mengelak dari gerak perubahan terutama gelombang modernisasi beserta pernak pernik yang menyertai didalamnya. Modernisasi bergerak dari banyak arah, menerobos dinding keluarga, ruang ruang pendidikan, panggung sosial budaya dan kebijakan pembangunan. Modernisasi membawa pesan baru bernama kemajuan. Dan Bangsa ini sedang bergerak atau digerakkan menuju negara modern industrial.
Apa yang salah dari modernisasi? Jika modernisasi diartikan sebagai rasionalisasi dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat saya kira tak ada yang salah. Namun modernisasi bergerak lebih dari itu. Dinamika modernisasi juga membawa serta alam pikir dan budaya barat. Apa yang disebut sebagai budaya barat utamanya adalah materialisme dan individualistis. Kedua corak ini telah mengintervensi alam pikir masyarakat sedemikian jauh sehingga dalam banyak hal turut menggeser tatanan kehidupan. Corak kehidupan masyarakat kita yang bertumpu pada yang ruhani (batin) dan cara hidup yang komunal (guyup) kian alami pengikisan. Gelombang kehidupan baru, gaya hidup baru, orientasi baru dan cara cara hidup baru telah menenggelamkan tatanan yang ada menjadi usang dan ditinggalkan. Mulanya di kota kota dan kemudian bergerak kepedesaan. Pada posisi ini tradisi, termasuk didalamnya seni tradisi turut tenggelam didalamnya.
Masalah yang muncul adalah, apakah gerak kebudayaan baru itu adalah gerak kemajuan yang sudah tepat dan diterima? Apakah kita sudah siap meninggalkan yang lama untuk menuju tatanan baru?
Disatu sisi gerak modernisasi terus melaju dengan segala pernak perniknya seraya tak bisa dicegah dan dihindari. Di sisi lain muncul keresahan di sana sini soal identitas, jatidiri dan perilaku yang menjauh dari nilai nilai budaya. Pendidikan karakter bangsa dan persoalan akhlak sering mengemuka menjadi wacana merupakan bentuk kecemasan tersendiri. Menjamurkan sekolah sekolah agama dan antusiasme masyarakat menyekolahkan anaknya ditempat itu untuk sebagian menjawab kerasahan atas berbagai gejala yang terjadi di masyarakat. Munculnya group group medsos yang mengarah pada unsur kekeluargaan adalah bentuk respon atas kondisi individualisme yang makin menguat. Dan banyak tayangan atau cerita cerita pendek yang berbasis budaya lokal saya kira adalah bentuk kerinduan pada yang lama dan tradisional.
Modernisme memberi ruang luas pada individualisme dan materialisme, pada saat yang sama menjadi ruang hampa pada dimensi ruhaniah (spiritualitas). Ada kegersangan ruhani dan kekeringan hubungan antar manusia yang berlanjut pada krisis makna pada kehidupan modern kita saat ini. Khasanah makna makna yang kaya pada masa silam mulai ditinggalkan sementara kehidupan baru tak memberikan jawaban atas persoalan itu. Keadaan atas surutnya yang lama dan tak menemukan makna makna pada situasi baru, disitulah sebenarnya krisis sedang terjadi.
Pada saat krisis seperti ini ada kecenderungan romantik, orang ingin kembali mendapatkan kedamaian di masalalu. Kehangatan, keharmonisan, keindahan, kebersahajaan dan ‘kepastian’ dimasa lalu seperti sebuah kerinduan. Namun itu pilihan tak mudah. Apa yang silam sering tidak tampil menarik. Dalam hal seni misalnya, produk senibudaya tradisional sering konservatif pada kelampauan, pada pakem lama yang tidak bisa diserap citarasanya pada masa kini. Meski dalam suasana krisis, masyarakat cenderung tak ingin balik lantaran yang silam tidak tampil menarik.
Disinilah persoalan mesti dijawab. Pertama modernisasi tak menjawab kebutuhan batin masyarakat yang sudah dibentuk oleh sejarah dan kebudayaannya. Disisi lain keberadaan tradisi tidak tak tampil memberi jawaban yang memuaskan untuk masyarakat kembali pada pangkuan budaya. Disinilah tantangan besar para pejuang kebudayaan untuk menghidupkan kembali elan tradisi. Bukan semata mempertahankan yang lama, tapi berupaya keras menghadirkan kembali wajah baru tradisi dimana ia bisa hadir menarik pada masa kini dengan tetap membawa khasanah lama.
Kata kunci dalam membangun elan tradisi adalah kreatifitas. Tepatnya penyesuaian kreatif. Tradisi, khususnya seni tradisi perlu mendapatkan sentuhan kreatif untuk menyesuaikan pada situasi situasi baru. Kerja kerja kreatif kebudayaan inilah yang saat ini dibutuhkan.
Maret 2021