Ayat ‘Kiri’

AYAT ‘KIRI’
Saat ini, dinamika keberagamaan tumbuh penuh semarak. Orang-orang semakin bersemangat dalam menjalankan ajaran agama. Mereka bahkan semakin percaya diri dan terbuka dalam menggunakan atribut-atribut keagamaan.
Terutama di Bulan Ramadan, intensitas keberagamaan kian meningkat. Masjid dan majelis taklim semakin dipenuhi jamaah. Diskusi keagamaan juga semakin terbuka. Kesemarakan ini terjadi hampir merata, dari kota hingga desa, dari kalangan atas hingga bawah.
Kegairahan beragama tidak hanya terlihat dalam kehidupan nyata. Di dunia maya, dinamika keberagamaan berlangsung tak kalah seru. Wacana keagamaan mengalir deras bagai air bah.
Tumbuhnya semangat beragama patut disyukuri. Dengan kesadaran ini, diharapkan kualitas umat akan semakin membaik. Setidaknya, akhlak umat menjadi lebih terjaga.
Namun, tuntutan agama tidak sekadar kesemarakan dan kemeriahan. Ajaran agama juga menuntut implikasi sosial. Bahkan, ukuran keberagamaan terletak pada dampaknya bagi masyarakat. Misalnya, apakah semangat beragama mampu menjawab persoalan kemiskinan? Apakah ia bisa mengatasi masalah anak yatim?
Jika keberagamaan mengabaikan kedua hal ini, Al-Qur’an dalam Surat Al-Ma’un menyebut pelakunya sebagai pendusta agama. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?” Begitu bunyi salah satu ayatnya. Yaitu mereka yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong pemberian makan kepada orang miskin.
Yatim dan miskin adalah simbol keterpinggiran. Dalam kehidupan sosial, kemiskinan masih eksis dalam berbagai bentuk. Ketimpangan dan ketidakadilan kerap menjadi realitas yang harus dihadapi. Di sinilah agama hadir—salah satunya untuk membantu mereka yang lemah dan tersisih. Kesemarakan beragama harus memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi semua.
Bahkan, tidak sekadar disebut pendusta, sholat seseorang bisa mendatangkan celaka. “Celakalah orang yang sholat,” demikian lanjutan ayat dalam Surat Al-Ma’un. Yaitu mereka yang lalai dalam sholatnya—lalai karena riya’ (pamer) dan enggan menolong sesama. Esensi agama mengajarkan ketulusan, keikhlasan, sekaligus kepedulian terhadap sesama.
Agama seolah memberi pesan kepada pemeluknya: beragama tidak bisa dilakukan secara individualistik, elitis, atau dalam bayang-bayang kesenjangan sosial. Agama harus menjadi rahmat bagi semesta tanpa terkecuali.
Andai Karl Marx sempat membaca rangkaian ayat dalam Surat Al-Ma’un ini, mungkin ia tak akan menyebut agama sebagai “candu”. Semangat agama sejak awal melawan segala bentuk ketimpangan, eksploitasi manusia, dan berpihak pada yang lemah.
April 2023