unnamed (7)8

Tak semua orang bisa menjadi guru. Bukan karena soal gelar atau kemampuan mengajar semata, tetapi karena menjadi guru sejati memerlukan sesuatu yang lebih dalam: jiwa.

Seorang kawan pernah bercerita tentang ibunya yang telah mengabdikan diri sebagai guru selama puluhan tahun. Setiap tahun, tanpa absen, ibunya selalu kedatangan tamu-tamu istimewa — para mantan murid. Mereka datang bukan sekadar untuk bersilaturahmi, tetapi membawa serta rasa hormat dan nostalgia yang mendalam. Beberapa di antara mereka kini sudah menjadi “orang besar” — punya jabatan, pengaruh, dan kehidupan mapan. Namun ketika berhadapan dengan sang guru, sikap mereka kembali seperti anak-anak yang dahulu duduk di bangku sekolah: penuh takzim, penuh syukur.

Yang lebih menyentuh, bahkan murid yang dulunya dikenal nakal pun tetap datang sowan. Mereka mengenang bagaimana sang guru bersabar menghadapi kenakalan mereka, memberi kesempatan untuk berubah, dan tak pernah menyerah menanamkan nilai. Sekali lagi, bukan hanya pelajaran yang mereka ingat, tapi ketulusan hati seorang pendidik.

Cerita lain datang dari seorang guru yang dipindahtugaskan. Saat kabar itu tersebar, sekolah seketika diliputi duka. Murid-murid menangis. Bukan tangis remaja yang dibuat-buat, melainkan tangis kehilangan yang tulus. Beberapa murid bahkan memilih pindah sekolah demi tetap bisa belajar bersama guru kesayangan mereka. Ada ikatan emosional yang terjalin — bukan karena guru itu memberi nilai tinggi, tapi karena ia menghadirkan cinta dalam proses belajar.

Cerita-cerita seperti itu, mungkin terdengar seperti kisah langka. Tapi sebenarnya, lebih banyak dari yang kita kira. Masih banyak “guru spesial” yang dicintai muridnya. Bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka hadir dengan hati. Mereka menciptakan suasana belajar yang membuat murid merasa aman, dilihat, dan dihargai. Mereka bukan sekadar pengajar di kelas, tapi juga teman bicara, pendengar, dan panutan.

Murid-murid yang bertemu guru seperti ini biasanya akan menunjukkan perubahan yang mencolok: lebih rajin belajar, penuh perhatian saat pelajaran, bahkan antusias datang ke sekolah. Mereka belajar bukan karena takut, tetapi karena merasa dicintai. Dan cinta, seperti kita tahu, adalah bahan bakar terkuat dalam proses tumbuh kembang anak.

Maka benarlah jika dikatakan, guru sejati bukan hanya hadir di kelas, tetapi juga hidup dalam pikiran dan hati para siswanya. Keberadaan mereka dikenang jauh setelah pelajaran usai, bahkan setelah anak-anak itu tumbuh dewasa. Mereka meninggalkan jejak yang dalam — tak kasat mata, tapi abadi.

Menjadi guru sejati memang tak mudah. Ia menuntut kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan yang tidak semua orang miliki. Tapi justru di situlah kemuliaannya. Karena guru, pada akhirnya, bukan hanya profesi — tapi jiwa.