unnamed (13)

Aku merasa biasa saja. Tak ada yang istimewa. Saat menjemput anak pulang sekolah kala itu, aku kerap menyambutnya dengan mengelus kepalanya. Sebuah kebiasaan kecil, nyaris tanpa makna khusus bagiku.

Tiba-tiba, teman dekat anakku yang menyaksikan momen itu dari dekat, pergi begitu saja. Ia berjalan menuju kamar asrama siswa. Ketika anakku menyusul dan menemuinya, ternyata ada cerita yang tak terduga. Ia menangis dan berkata, “Aku ingin diperlakukan ayahku seperti itu.”

Aku ikut terharu mendengarnya. Sebuah peristiwa sederhana dan biasa bagiku, ternyata bisa sangat istimewa bagi orang lain. Ia mengaku, sejak kecil ia merasa berjarak dengan ayahnya. Kedekatan dan kehangatan seperti yang ia saksikan sangat ia rindukan.

Seiring waktu, kisah sahabat anakku itu ternyata bukan satu-satunya. Dari cerita-cerita lain yang anakku dengar, cukup banyak teman-temannya yang mengalami hal serupa. Banyak dari mereka merindukan kehadiran sosok ayah dalam kehidupan mereka. Di antara kisah-kisah yang pilu, bukan kedekatan dan kehangatan yang mereka alami, melainkan konflik yang meninggalkan luka. Sebagian bahkan mengalami trauma karena hubungannya dengan sang ayah.

Aku baru benar-benar paham setelah membaca sebuah artikel di media. Bahwa ketidakhadiran sosok ayah dalam kehidupan anak bukan sekadar kasus per kasus, melainkan sudah menjadi fenomena. Istilahnya adalah fatherless. Fatherless merujuk pada seseorang yang tidak memiliki ayah secara fisik, atau tidak memiliki figur ayah secara psikologis dalam hidupnya. Angka fatherless di Indonesia cukup tinggi. Konon, negara kita menempati posisi ketiga tertinggi di dunia dalam kasus ini.

Tingginya angka fatherless seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua pihak, khususnya keluarga-keluarga di Indonesia. Sebab dampaknya terhadap tumbuh kembang anak sangat mengkhawatirkan: mulai dari penurunan kemampuan komunikasi, terganggunya perkembangan kognitif, masalah perilaku dan sosial, gangguan kesehatan mental, hingga kenakalan dan kejahatan remaja.

Aku merasa miris membaca dan mendengar kabar ini. Yang bisa kulakukan adalah berusaha dan berdoa, semoga aku mampu menjadi ayah yang hadir dan berarti bagi anak-anakku. Aku juga berharap, keluarga-keluarga di sekitarku—kerabat, sahabat, dan handai taulan—menyadari pentingnya peran ayah, dan tidak menjadi bagian dari fenomena fatherless ini.

Aamiin