unnamed

Malam hari jika tak ada acara khusus, momen yang ditunggu Rani adalah bermanja dengan ayahnya. Begitu sampai rumah usai pulang kerja, ritual Rani bersih bersih badan dilanjut makan malam. Setelah itu bergegas menemui ayahnya. Biasanya di sofa ruang tamu. Ayahnya suka baca buku ditempat itu. Sofa panjang warna abu abu persis di bawah figura besar lukisan pemandangan yang menempel dinding ruang tamu adalah tempat favoritnya. Rani hafal betul kebiasaan ayahnya yang suka duduk diujung sofa yang disebalahnya ada meja kecil tempat menaruh minuman dan panganan. Jika sudah mulai membaca, ayah Rani bisa tahan berlama lama ditempat itu.

Dari dapur, Rani membawa sepiring nasi makan malam di tangan kanan dan satu gelas air putih di tangan kiri menuju ruang tamu. Ia berdiri persis di depan ayahnya yang lagi serius membaca buku.

“Ayah…” sapa Rani pada ayahnya dengan senyum seperti memberi kode.

Ayahnya sudah paham maksud anak perempuannya. Kode senyum itu artinya Rani lagi malas makan dan minta disuapin ayahnya. Dengan senyum yang sama, ayahnya melepaskan kaca mata dan meletakkan bukunya di atas meja. Piring dari tangan Rani kemudian berpindah ke tangan ayahnya. Berbarengan dengan itu Rani duduk disebelah kiri ayahnya.

Kebiasaan Rani minta disuapin ayahnya sudah berlangsung sejak kecil dan terbawa hingga dewasa. Jika sudah disuapin ayahnya, hasrat makan Rani jadi berlipat. Tak perlu minum suplemen penambah nafsu makan. Bagi Rani, suapan tangan ayahnya membuat makannya lahap. Bahkan jika sebelumnya tak ada keinginan makan, begitu disuapin ayahnya, makannya bisa nambah.

Sebenarnya bukan soal makan yang utama. Kebersamaan dengan ayahnya adalah susuatu yang selalu dinantikan. Rani merasakan ada kehangatan dan kedamaian bersama ayahnya. Sambil disuapin, Rani bisa berbincang apa saja, merajuk apa saja atau sekedar cerita cerita ringan dan jenaka. Hampir tak ada kehidupan Rani yang tak diketahui ayahnya, baik itu yang sedih maupun Bahagia. Bersama ayahnya, Rani seperti tak mau tumbuh jadi gadis dewasa dan lebih memilih membawa suasana kekanakannya yang bebas bermanja manja.

Selama ini, ayah Rani tak pernah mempersoalkan kemanjaannya. Sepanjang ada waktu, ayah Rani seperti pasrah melayani putrinya mulai minta disuapin, mendengar cerita, diskusi buku atau isu isu tertentu sampai diminta mengantar belanja ini itu. Satu pesan ayah yang selalu diingat dan dijaganya adalah manja itu ada tempatnya dan tak boleh membuat seseorang lembek hidupnya.

Satu satunya sosok yang suka meributkan kebersamaan Rani dan ayahnya adalah, ibunya. Sifat kolokan Rani pada ayahnya dinilai ibunya sudah berlebihan. Apalagi ketika ibunya melihat Rani masih suka minta disuapin ayahnya. Pernah suatu ketika, ibunya menasehati Rani dengan nada menahan kesabaran seorang ibu,

“Rani, kamu itu sudah besar, sudah dewasa, sudah bekerja, sudah sampai mana mana, Bahkan sudah sampai luar negeri segala. Apa tak malu dengan sikapmu seperti itu? Bagaimana jika tetangga dan teman temanmu tahu? Malu, ah”.

Di nasehati seperti itu, Rani dan Ayahnya saling pandang dan saling melempar senyum.

“Jawab tuh, Rani,” kata ayahnya seolah meminta Rani menjawab ibunya.

“Ibu tenang saja, aman!” jawab Rani berusaha meyakinkan ibunya.

“Aman, bagaimana?” sahut ibunya masih dengan nada menahan emosi.

“Ibu…” kata Rani berusaha menjelaskan pelan pelan. “… dijamin hanya ditempat ini dan hanya dengan ayah, Rani kolokan. Diluar rumah, Rani bersih dari kolokan, jamin deh, Bu”

Ayahnya dengan santai nimbrung, “Sudahlah, Bu. Sebentar lagi anakmu yang cantik ini juga akan di ambil orang. Biarkan saja. Ayah sendiri tak keberatan”

“Ayaah…,” kata Rani manja mendengar pujian ayahnya.

Merasa dikeroyok suami dan anak, ibunya hanya menggelengkan kepala sambil meninggalkan mereka berdua.

Rani tampak menikmati suap demi suap makan sambil cerita kesana kemari. Begitu suapan terakhir sampai mulutnya, piring di tangan ayahnya diambil Rani dan diletakkan di atas meja. Kemudian gelas air putih disambarnya dan diminum beberapa teguk.

“Sudah, kan?” kata ayahnya sambil mengambil buku di atas meja hendak melanjutkan membaca.

Rani dengan cepat mengambil buku yang sudah dipegang ayahnya dan diletakkan kembali di atas meja.

“Aku masih mau cerita sama ayah,” kata Rani usai meletakkan buku ayahnya.

Dengan wajah pasrah, ayah Rani membenahi posisi duduknya dengan kesiapan untuk mendengar cerita anaknya.

“Ya, berceritalah. Ayah mau mendengar ceritamu. Kayaknya istmewa, nih” kata ayahnya dengan wajah sungguh sungguh.

Rani hanya tersenyum melihat gaya bersiap ayahnya.

“Agak istimewa ceritaku, yah”

“Baik, ayah siap mendengar”

Tiba tiba Rani terdiam tak bicara apa apa. Hanya senyum tersipu yang tampak diwajahnya.

“Ayo cerita…” kata ayahnya seperti tahu ada yang berat untuk dikatakan Rani.

Rani masih tampak tersenyum saja, belum berkata kata.

“Cowok…?” tebak ayahnya mengambil inisiatif pembicaraan.

Rani menganggukkan kepalanya.

“Dia bilang cinta?” tebak ayahnya seolah meminta pembenaran.

Rani lagi lagi menganggukkan kepalanya.

Cerita cowok bilang cinta pada Rani sudah biasa di dengar ayahnya. Hampir tak ada yang disembunyikan dari ayahnya nama nama cowok yang sudah menaruh perhatian pada Rani. Itu mengapa tebakan ayahnya tidak meleset.

“Persisnya tak gitu sih, yah. Ia bilang minta ijin memiliki hatiku,” kata Rani dengan senyum malu malu.

“Sama saja. Bahasanya lebih romantis dan lebih menyentuh di dengar,” nilai ayahnya.

“Bukannya kamu biasa cerita cowok yang bilang cinta sama kamu?“ sambung ayahnya dengan nada bertanya.

“Kali ini beda, ayah?” kata Rani dengan wajah berbinar.

“Bedanya?” tanya ayahnya dengan kening dikerutkan.

“Selama ini ayah tahu, aku tuh belum tertarik bicara cinta, dan belum ada ketertarikan pada cowok,” terang Rani.

“Terus? Kamu tinggal bilang aja, kan?”

“Masalahnya, yang satu ini aku yang takut kehilangan…”

Rani bercerita dengan wajah tersipu. Pipinya memerah antara malu dan bahagia. Sementara ayahnya hanya tersenyum melihat anak gadisnya seperti salah tingkah sendiri.

“Kamu sedang jatuh cinta, nak,” kata ayahnya sambil mengelus elus kepala Rani. “Sudah waktunya kamu jatuh cinta,” sambung ayahnya dengan wajah penuh kegembiraan.

Rani senang kepalanya dielus elus ayahnya. Ada perasaan damai dan tenang dihatinya saat ayahnya membelainya.

“Laki laki itu pasti pintar dan ganteng, ya” tanya ayahnya sambil senyum menggoda.

“Ih, ayah sok tahu, ya” jawab Rani dengan gaya dibuat serius.

“Karena anak ayah juga pintar dan cantik” puji ayahnya pada Rani.

“Ayah, bisa aja”

“Pasti, laki laki itu sangat istimewa”

“Sok tahu lagi nih, ayah”

Ayahnya tersenyum memandang putrinya yang lagi berbunga bunga.

Selama ini dalam amatan ayahnya, banyak laki laki mendekati Rani. Mereka boleh dibilang lumayan baik dari segi pendidikan, karir maupun ketampanan. Tapi tak ada satupun yang membuat Rani tertarik.

“Hanya laki laki istimewa yang menggoyahkan hati anak ayah,” kata Ayah Rani seperti membesarkan hati anaknya.

“Kenapa ayah berfikir begitu?” tanya Rani penasaran

“Karena anak ayah memang istimewa,” jawab ayahnya dengan senyum bangga.

Sebenarnya tak bisa disembunyikan kebanggaan ayah Rani pada putrinya. Meski di rumah manja tidak ketulungan, tapi diluar rumah banyak prestasi yang diraihnya. Sejak sekolah ia tergolong siswa berprestasi. Di kantor karirnya relatif cepat menanjak. Ia banyak mewakili tugas tugas perusahaan di dalam maupun luar negeri. Kegiatan sosial juga banyak diikuti dan hampir tak terdengar ada masalah serius dan suara negatif. Semua tampak baik baik saja. Itu mengapa ayahnya tak khawatir anaknya manja dirumah, karena begitu keluar Rani bisa tampil kuat, mandiri dan percaya diri.

“Ayah ini subyektif,” kata Rani protes dengan mimik dibuat serius meski dalam hatinya ia bangga pada pujian ayahnya.

Seperti tidak menggubris protes Rani, Ayahnya bertanya sosok lelaki idaman yang membuat anaknya berbunga bunga.

“Coba, ceritakan sedikit saja, seperti apa lelaki yang berhasil meluluhkan hati anak ayah?” tanya ayahnya sambil kembali membelai kepala anaknya.

“Ayah penasaran, yaa…” ucap Rani manja memandang ayanya seperti menunggu jawaban.

Dibilang penasaran, ayahnya meletakkan telunjuknya kehidung Rani, “Lelaki itu akan mengambil anak ayah, tahu?” kata ayah dengan wajah dibuat serius.

Disentuh hidungnya, Rani bereaksi memejamkan matanya disertai senyum yang merekah. Ia senang melihat ayahnya penasaran.

“Ayah cemburu, ya? Ayah keberatan, ya?” jawab Rani dengan senyum menggoda usai telunjuk ayahnya lepas dari hidungnya.

“Bukan cemburu. Bukan juga keberatan. Ayah ingin tahu siapa lelaki yang akan segera mengambil alih tugas manampung kemanjaan anak ayah?” jawab ayahnya dengan tersenyum.

Rani seperti melongo mendengar jawaban ayahnya. Ditatap wajah ayahnya dengan kening dikerutkan seperti tak percaya kata kata itu keluar dari mulut ayahnya. Rani tiba tiba seperti akan merasakan kehilangan suasana kemanjaan bersama ayahnya.

Melihat Rani tampak gundah, ayahnya memegang bahu Rani sambil tersenyum seolah menenangkan.

“Ayah selalu ada untukmu, Nak. Sampai kapanpun. Tapi ada saatnya kamu mendapatkan tempat manja yang lebih indah. Ayah percaya kamu akan mendapatkannya” kata ayahnya.

Rani kembali tersenyum mendengar jawaban ayahnya. Selama ini satusatunya tempat ia bermanja dengan leluasa hanya ayahnya. Belum terbayangkan dia akan mendapatnya ditempat lain dan pada orang lain.

“Karena itu, ceritakanlah barang sedikit saja, siapa laki laki yang membuat wajah anak ayah penuh bunga warna warni” kata ayah Rani dengan senyum menggoda.

Tampak diwajah Rani ada rasa kesulitan menjelaskan, tapi ia berusaha memenuhi permintaan ayahnya.

“Ayah, aku tidak tahu dari mana harus cerita ia seperti apa, tapi yang kurasakan hatiku adem jika bersamanya. Itu aja, Yah”

Mendengar jawaban putrinyanya, ayah Rani hanya menanggut manggut. Terkesan aneh, adem bisa menjadi kata kunci daya tarik anaknya pada laki laki. Cerita ketertarikan wanita biasanya tak jauh dari soal ketampanan, kepintaran, karir, kepribadian dll. Tapi begitu ayahnya memikirkan secara seksama dan dalam dalam, dukungan penuh diberikannya pada Rani.

“Dia lelaki istimewa, Rani. Semoga tak salah pilihammu” jawab ayahnya penuh keyakinan.

Kata kata ayahnya cukup membuatnya keheranan. Rani merasa ayahnya bisa membayangkan siapa lelaki pilihannya meski baru sedikit yang diceritakan.

“Mengapa ayah punya kesimpulan itu, padahal aku baru cerita sedikit?” tanya Rani penasaran.

Ayah Rani hanya tersenyum melihat wajah putrinya penuh keheranan.

“Nak, diluar rumah ini, anak ayah orangnya mandiri, pintar, percaya diri, tak mudah tergoda urusan cinta. Tiba tiba ada orang bisa membuat adem hatinya, pasti dia punya banyak keistimewaan,” jelas ayahnya penuh keyakinan.

“Pasti lelaki itu pintar, sopan, dewasa, tutur katanya lembut, punya jiwa ngemong. Ya, kan?” sambung ayahnya.

Rani hanya tersenyum dan diam terpaku. Dugaan ayahnya boleh dibilang benar semuanya. Ia kemudian membayangkan lelaki pujaannya yang begitu kuat kepribadiannya hingga ia merasa dibuat seperti anak kecil yang mesti dilindungi.

“Namanya siapa, Nak? Kalau boleh ayah tahu?” tanya ayahnya.

“Krisna…”

“Oh, krisna? Kepribadiannya seperti namanya”

“Maksud, ayah?”

“Cari dibuku, baca siapa sosok krisna”

Ayah Rani kembali menepuk bahu anaknya dengan perlahan seperti memberikan dukungan penuh.

“Kalau kamu memang sudah mantab, ajak main Krisna ke rumah, kenalkan sama ayah,” pinta ayahnya.

“Terus ayah nanti mau omong apa?”

“Nanti ayah bilang, akan segera dibuatkan surat keputusan ambil alih anak manja buat Krisna” kata ayah Rani dengan senyum penuh kegembiraan.

“Ayaaaah…” teriak Rani penuh kemanjaan seperti tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya.