(Belum) Merdeka Belajar

KEBIJAKAN (BELUM) MERDEKA BELAJAR
Mungkin karena temuan Howard Gardner, banyak orang mulai terlepas dari stigma sebagai orang bodoh. Gagasan Gardner tentang multiple intelligences (kecerdasan majemuk) selaras dengan pandangan Albert Einstein bahwa setiap manusia itu cerdas.
Menurut Gardner, kecerdasan tidak bersifat tunggal. Setidaknya ada sembilan jenis kecerdasan, di antaranya kecerdasan kinestetik, kecerdasan seni, kecerdasan logika-matematika, dan sebagainya. Setiap individu biasanya menonjol pada satu atau dua jenis kecerdasan. Kecerdasan satu orang tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan orang lain, karena setiap jenis memiliki keunggulannya masing-masing.
Seekor ikan sangat cemerlang saat berenang di kolam. Namun ia akan tampak bodoh jika diminta memanjat pohon. Sampai kapan pun ikan akan merasa gagal jika yang diminta adalah kemampuan yang bukan kodratnya. Begitu kira-kira pandangan Einstein.
Sejalan dengan Gardner dan Einstein, Ki Hajar Dewantara juga berpandangan bahwa setiap manusia membawa kodratnya sendiri. Pendidikan, menurut Bapak Pendidikan Nasional itu, hanya perlu “menuntun” (among), agar manusia dapat tumbuh sesuai kodratnya.
Pendidikan seharusnya membebaskan manusia dari segala bentuk tekanan dan paksaan yang bertentangan dengan kodrat alaminya. Pendidikan ibarat taman—sebuah tempat yang indah, menyenangkan, dan membebaskan. Di taman itu, manusia bisa mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya secara bebas.
Taman adalah tempat siswa bermain dengan riang, kolam tempat ikan berenang bebas, dan pepohonan rindang tempat monyet memanjat lincah.
Konsep taman inilah yang menginspirasi Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, dalam meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar. Ia ingin menjadikan sekolah sebagai “taman belajar” yang menyenangkan. Melalui kebijakan ini, Mas Menteri ingin membebaskan siswa dari belenggu sistem yang membuat ikan harus memanjat pohon.
Semangat pembebasan itu kini digaungkan dengan antusias. Ia menjadi harapan baru yang dinantikan banyak pihak.
Namun, akankah kebijakan Merdeka Belajar benar-benar berhasil? Waktu yang akan menjawab. Meski begitu, bayang-bayang kegagalan sudah mulai terlihat. Bukan semata karena implementasi di lapangan, tetapi juga karena struktur dan bangunan kurikulum yang masih menyisakan persoalan besar.
Satu contoh sederhana: hingga kini, seluruh lulusan Sekolah Dasar (SD) diarahkan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Padahal, desain SMP merupakan tangga menuju SMA dan selanjutnya ke perguruan tinggi. SMP sebagai sekolah umum, dalam istilah Gardner, lebih menekankan pada kecerdasan logika-matematis. Pelajaran di tingkat ini menuntut kemampuan berpikir konseptual, mengenali pola numerik, dan menemukan logika abstrak. Area ini tentu memerlukan kesiapan khusus, baik dari segi minat maupun kemampuan.
Menurut Drost, seorang praktisi pendidikan, hanya sekitar 30–40% lulusan SD yang mampu dan siap mengikuti jenjang SMP. Sisanya, secara alamiah, mayoritas siswa akan mengalami kesulitan. Mereka bukan bodoh—hanya saja potensi kecerdasannya berada di area lain, dan sayangnya, pilihan itu tidak tersedia dalam sistem pendidikan kita.
Penjenjangan sekolah seperti ini menjadi tidak rasional dan bermasalah. Menyatukan siswa yang mampu dan tidak mampu dalam satu keranjang hanya akan menghasilkan mutu pendidikan yang rendah secara umum. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa indikator hasil survei pendidikan, baik nasional maupun internasional, terus menunjukkan hasil yang rendah.
Masalahnya tidak berhenti di situ. Pendidikan kita, seperti kata Einstein, membuat ikan tampak bodoh karena terus-menerus diminta memanjat. Kuda yang semestinya lincah berlari pun akan terlihat gagal jika harus memanjat.
Namun apa daya, ikan dan kuda itu tak punya pilihan selain mengikuti arena yang bukan kodratnya. Mayoritas lulusan SD dengan ragam potensi kecerdasan hanya disediakan satu jalur pendidikan yang sama. Akibatnya, mereka tak berkembang, merasa tertekan, dan tampak bodoh sepanjang jalan pendidikan mereka.
Kondisi ini mungkin menjadi sinyal kecil dari dinamika dan tantangan yang masih membayangi kebijakan Merdeka Belajar.
Agustus 2022