Demimu dan Sibuah hati

Demimu dan Sibuah Hati
Sania tersenyum heran. Ajakan Sandi, untuk berlibur Hari Minggu ternyata pergi tak jauh. Hanya sekitaran dua kilo. Tak lebih. Mobil yang ditumpanginya tiba-tiba belok ke halaman sekolah dan berhenti persis di bawah pohon mangga yang rindang tak jauh dari toilet sekolah. Tempat itu biasa Sania dan Sandi datangi.
“Ulah apa lagi suamiku” kata Sania dalam hati begitu mobil berhenti.
Bagi Sania, ulah aneh Sandi bukan barang baru. Sejak membersamainya sebagai istri, ada saja kejutan yang dilakukannya. Unik. Tak lazim. Tapi Sandi selalu punya alasan yang membuat Sania diam tak berkutik. Itu mengapa Sania tak berani keburu protes keras jika menemui ada ulah aneh Sandi. Dan ulah itu sepertinya sedang berulang.
“Kita sampai, ” ucap Sandi tersenyum cerah sambil mengarahkan wajahnya ke Sania yang masih tampak terheran-heran..
“Sampai?” tanya Sania dengan mata membundar kearah Sandi.
“Iya..”
“Di sini?”
“Iya..*
Sania hanya menggelengkan kepalanya. Otaknya belum bisa memahami jalan pikiran Sandi. Bisa dibayangkan, sekolah itu cukup dekat dari rumah. Jalan kaki tak sampai sepuluh menit. Kalau hanya di dekat rumah saja, mengapa sudah ngomong berlibur jauh hari dan minta disiapin ini itu.
“Kamu minta aku menyiapkan bekal untuk dimakan disini?”
“Iya..”
“Aku dandan lama dari pagi untuk berlibur di tempat ini?”
“Iya, asik kan? Kita duduk di kursi taman itu. Tempatnya enak, rindang dan view-nya bagus”
Sandi selalu menjawab dengan penuh keyakinan. Tapi itulah Sandi, orangnya cool dan selalu tersenyum. Kadang sulit dibedakan dia serius atau tidak, ia marah atau tidak, ia sedih atau gembira.
“Kita turun dulu saja, ngobrol dikursi taman itu”
Sandi keluar dari mobil dan mengambil tas bekal makanan. Sementara Sania mengikuti Sandi saat melangkah menuju kursi taman sekolah.
“Kamu tuh, kalau mau ngajak ngobrol, bilang dong..” kata Sania setelah mereka duduk sambil mengeluarkan makanan ke atas meja.
Sandi hanya tersenyum melihat Sania seperti masih setengah hati.
“Coba, aku udah masak, udah dandan lama, ee cuma pergi sekedipan mata” sambung Sania sambil menata-nata makanan.
Sandi masih terdiam dan ikut bantu-bantu Sania mengeluarkan makanan dari dalam tas.
“Kamu dandan cantik untukku, kan?” kata Sandi usai semua bekal tertata. Senyum jenakanya seperti mencoba menghibur Sania.
“Ya iyalah, masak untuk petugas kecamatan sih” kata Sania manja sambil mencubit gemas lengan Sandi.
“Idih. KDRT! Sakit tau!” seru Sandi sambil memegang bekas cubitan.
“Biarin!”
Sania tak bisa menahan tawa melihat ekspresi serius Sandi menahan sakit. Tampak lucu.
“Sania, ” kata Sandi mencoba santai. “…sekarang aku sudah melihat kecantikanmu, sudah mencicipi masakanmu. Selesai, kan?”
“Belum!” kata Sania tegas sambil menggelengkan kepalanya.
“Apa lagi?”
“Kamu harus menjelaskan apa maksud berlibur dan menyiapkan segala printilan ini kalau hanya pingin ngobrol di tempat ini”
“Apa itu penting?”
“Apa aku harus mencubit lagi?”
Sandi tak bisa menahan tawa melihat ancaman Sania yang memperagan telunjuk dan jempolnya seperti hendak mencubit.
“Ada bidadari kok main ancam”
“Gak usah lama-lama, aku cubit beneran lo”
“Baik, baik.. ” kata Sandi sambil menahan tawa.
Sandi mengangkat kakinya ke atas kursi membuat posisinya lurus ke arah Istrinya yang masih tampak sewot.
“Sania, ” kata Sandi perlahan sambil menatap wajah istrinya penuh seksama, “… aku ini merasa menikmati seluruh aktifitasku selama ini. Aku senang menjalankannya. Tak siang tak malam aku bahagia dengan apa yang kukerjakan. Kalaupun aku lelah, itu hanya soal fisik semata. Itupun sirna seketika begitu sampai di rumah bertemu kamu. Lalu, buat apa berlibur kalau bersamamu saja aku bahagia. Adakah tempat dan suasana yang lebih indah melebihi kebersamaan denganmu? Menurutku, tak ada!”
“Kok gitu sih jawabanmu” kata Sania haru mendengar kata-kata Sandi. Jawaban itu di luar pikirannya.
“Kalau aku mengajakmu pergi, jangan tanya kemana. Itu tak penting. Pergi bersamamu itulah berlibur, soal tempat, bisa di mana saja”
Sandi menyampaikan setiap kata dengan pelan dan tenang. Tatapan matanya tetap tertuju pada raut muka Sania yang mulai berubah. Tak ada lagi mimik sewot.
“Sania, aku sudah merasa bahagia hidup bersamamu. Tak ada lagi yang kuinginkan. Ini hatiku yang bicara. Cukupkan alasanku?”
Sania tak bisa berkata-kata. Matanya tiba-tiba basah menahan haru.
“Sandi, kamu selalu membikin kejutan untukku. Ungakapanmu membuatku tak berdaya karena begitu besarnya cintamu. Tuh, semua sendiku seperti lunglai”
Sandi tersenyum melihat Sania menunjukkan keharuan sambil memegang sendi tangan dan lututnya.
“Sania, gak papa kan aku ngomong seperti ini” ucap Sandi sambil memegang tangan Sania.
“Jangan sering-sering ya, aku bisa pingsan” kata Sania sambil mencium tangan Sandi.
“Kamu pingin mengajakku ngobrol apa di tempat ini, Sandi. Aku merasa ada sesuatu yang ingin kamu katakan”
Sandi menarik tangannya. Ia kemudian meraih makanan bikinan Sania.
“Sania, “kata Sandi sambil menikmati pisang goreng yang masih hangat, “Hari ini adalah perjamuan yang indah”
“Apa maksudmu, aku tak mengerti”
“Coba berdirilah. Sebentar saja”
Meski masih bingung menangkap maksudnya, Sania mencoba berdiri menghadap Sandi. Untuk beberapa waktu ditatapnya Sania penuh seksama.
“Cukup, duduklah”
“Aku tak paham maksudmu, Sandi”
“Tak ada yang sia-sia kamu lama berdandan. Kamu tampak cantik Sania, seperti bidadari.”
“Kamu hanya ingin mengatakan itu?”
Sandi menggelengkan kepalanya. Senyumnya tak henti menghias wajahnya.
“Sania, hari ini setahun pernikahan kita. Aku ingin merayakan penuh syukur. Kamu sudah berdandan cantik, kita nikmati jamuan makanan yang telah kamu bikin. Kesederhanaan yang indah bukan?”
Sania lagi-lagi tak bisa berkata-kata. Seluruh tulangnya seperti tak berdaya menyangga tubuhnya. Sandi tak pernah berhenti bikin kejutan yang selalu membuat haru biru hatinya. Ia pintar membuat momen peristiwa yang tampaknya biasa menjadi istimewa.
“Sandi.. ” kata Sania terbata. Matanya kembali basah.”.. kamu selalu membuat setiap langkahmu berarti. Kamu selalu membuat jalannya waktu penuh makna. Kamu lelaki istimewa. Cintamu istimewa. Aku merasa jadi wanita istimewa karena cintamu”
“Kamu tahu Sandi…” sambung Sania sambil memegang jari Sandi dengan tangannya, “… aku merasa wanita paling beruntung di dunia karena mendapatkan cintamu yang besar dan melimpah. Tapi maaf ya, aku merasa belum mampu mengimbangi besarnya cintamu padaku.”
“Tidak, Sania. Seluruh ketulusan, kesabaran dan kesetiaanmu mendampingiku adalah bahasa cintamu yang mengalir deras sampai hatiku. Aku merasakan itu”
Sania hanya bisa menatap Sandi tanpa satu kata pun. Lidahnya seperti tak kuasa lagi bicara.
“Sania, Kamu meninggalkan kemewahan hidupmu di kota dan memilih mendampingiku di sebuah desa terpencil tanpa keraguan. Itu karena cintamu yang besar. Dan tahukah kamu, aku merasa, Tuhan telah mengirimkan satu bidadarinya untukku”
Sania kembali meraih tangam Sandi. Di pegangnya erat tangan itu diletakkan dipipinya yang basah air mata.
“Tidak, Sandi. Kamu memang pantas dicintai. Dan aku tak salah memilih”
“Sudah, tak usah ada air mata. Ini peristiwa kecil saja dari jalan panjang yang harus kita lewati’ kata Sandi sambil mengusap air mata Sania yang mulai berjatuhan.
“Kamu sih, bikin aku menangis” kata Sania sambil kembali mencubit lengan Sandi.
“Tuh, KDRT lagi”
Sania mencoba ternyum melihat gaya Sandi kesakitan.
“Sania, ada satu hal lagi yang ingin kubicarakan padamu di tempat ini” kata Sandi
“Katakan saja, tapi jangan bikin aku menangis ya”
Sandi beranjak dari kursi dan berdiri menghadap taman sekolah. Sania juga menggeser posisi duduknya mengarahkan tubuhnya ke taman.
“Kamu masih merasakan keindahan taman sekolah ini?” tanya Sandi pada Sania.
“Ya, kita sering datang ke tempat ini. Sejak pertama kamu ajak aku ke sini. Jujur, taman sekolah ini indah. Terindah sepanjang sekolah yang kulihat “
Sania beranjak dari kursi dan melangkah ke arah taman tak jauh dari tempat ia duduk.
“Apa mimpi Ki Hajar Dewantoro seperti ini, ya?” sambung Sania sambil memegang tangkai mawar merah dan mencium bunganya.
Sandi hanya tersenyum melihat Sania memegang bunga kesukaannya.
“Mungkin, taman itu suasana dan rasa” kata Sandi merespon pertanyaan Sania.
“Maksudmu? Aku tak paham”
“Taman itu tempat yang indah, menyenangkan, membuat orang betah. Belajar mestinya dalam suasana seperti itu. Mungkin, itu maksud Ki Hajar” terang Sandi
“Setuju, itu lebih pas,” kata Sania sambil mengangkat dua jempolnya ke arah Sandi.
“Dan bunga itu ..” kata Sandi sambil menunjuk ke arah bunga yang barusan dicium Sania.
“Kenapa bunga itu?”
“Kesukaanmu, kan?”
“Iya, itu kan seperti bunga di rumah kita yang kamu menanamnya untukku, kan?”
Sandi hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya.
“Aku mengambilnya dari rumah dan meminta sekolah menanamnya di sini”
“Untuk apa? Di sini sudah banyak bunga dan bagus-bagus”
“Biar ada kamu di sini. Aku ingin ada jejakmu di sekolah ini”
“Kamu mau katakan apa lagi soal aku?”
“Aku ingin mimpi Ki Hajar Dewantoro terealisasi di sini. Di desa ini. Taman siswa bukan utopis, bukan sekedar impian, tapi nyata. Belajar seperti bermain di taman yang penuh keriangan, siswa betah dan senang bersekolah”
“Terus?”
“Itu perlu sentuhan lembut tanganmu, Sania. Perlu kesabaran dan kecerdasanmu. Sekolah ini terbuka untuk diajak berubah. Aku memintamu dengan kesungguhan hati”
“Itu alasanmu mengajakku ke sini?”
“Salah satunya…”
“Untuk apa semua ini kamu lakukan?”
“Untuk semua anak-anak di desa ini”
Sania mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sandi.
“Untuk semua anak di desa ini, dan untuk buah hati kita kelak” ucap Sandi sambil membungkukkan badan dan mencium perut istrinya yang sudah berisi.
Sania kembali terharu mendengar kesungguhan ucapan dan cara Sandi memohon.
“Sania, aku ingin buah hati kita sekolah di desa ini. Tak perlu di kota. Tak harus mahal. Cukup di taman siswa ini yang orang tuanya ikut mengasuh dan memberi warna”
“Sandi, waktunya masih lama, kan? Lahir saja belum” kata Sania sambil tersenyum.
“Sania, ” kata Sandi sambil memegang dua lengan Sania, “..menata pendidikan itu menata manasia. Butuh waktu panjang dan kesabaran. Mesti dimulai dari sekarang agar anak kita kelak mendapatkan tempat belajar yang menyenangkan, bisa bermain riang serta tumbuh mekar jiwanya di tempat ini. Kamu mau, kan? Please, Demi buah hati kita”
Sania terharu mendengar kesungguhan Sandi dalam memohon. Ekspresi wajahnya tampak serius dan tulus.
“Sandi, kamu meminta sesuatu yang tak mungkin kutolak. Aku akan lakukan yang terbaik semampuku. Demimu dan buah hati kita.”
h1loti
Test