Drama kecil di kereta

Di seberang tempat saya duduk, terlihat seorang ibu bersama buah hatinya.. Si ibu duduk bersandar santai sambil main HP. Sedangkan si anak asik dengan botol susu di kereta anak.
Untuk beberapa waktu keadaan baik–baik saja. Antara anak dan ibu punya kesibukan sendiri-sendiri. Sampai suata saat si anak tampak bosan dan minta turun dari keretanya.
Begitu turun dari kereta, si anak yang terlihat baru belajar berjalan itu tak henti bergerak. Si ibu dengan sabar menemani anaknya yang terus berjalan di lorong gerbong kereta.
Keadaan terasa tak kondusif ketika si ibu yang tampak mulai lelah. Ia memaksa anaknya duduk di kereta anak. Mungkin agar pergerak buah hatinya terbatas.
Pemberontakanpun terjadi. Anak meronta dan teriak-teriak. Semua mainan atau botol yang diberikan ibunya dilempar. Si ibu terus berjuang menenangkan dengan segala.bujuk rayu.
Setelah beberapa waktu ‘keributan’ ibu dan anak itu. Saya merasa ada keanehan. Keadaan tiba-tiba hening. Si ibu tampak kembali santai dan bersandar di kursi dengan HPnya.
Rupanya telah terjadi perdamaian dan simbiosis mutualisma. Ternyata si anak yang masih bau kencur itu duduk manis disamping ibunya dengan gadget ditanganya. Keadaannya itu berlangsung lama, sampai kami berpisah setalah limat jam perjalanan.
Kesimpulan sementara dari drama kecil di kereta itu, gadget adalah solusi. Barang elektronik itu menjadi ‘juru damai’ orang tua dan anak. Orang tua tak repot dan bisa leluasa dengan kegiatannya. Sementara anak tak rewel dan duduk manis sepanjang waktu. Batasan anak berhenti gadget sepertinya dua hal saja, sinyal dan kuota.
Saya kira, drama kecil di kereta itu hanya potret kecil masyarakat pada umumnya. Gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Mungkin telah jadi bagian dari oraginisme metabilisme tubuh yang bila hal itu tiada seperti ada yang kacau dari keseimbangan tubuh.
Apakah anak berdampak dengan gadget? Dalam keadaan terbatas dan terkontrol mungkin baik-baik saja. Tapi hari ini siapa orang yang bisa kontrol orang bergadget? Pengguna gadget kita rata-rata 9 jam perhari. Angka ini termasuk yang tertinggi di dunia.
Banyak dampak negatif anak bergadget. Diantaranya, anak kurang bersosialisasi (individualistik), bermasalah kesehatan (kurang gerak), mental terganggu, jiwanya ringkih (tak tahan tekanan) dll.
Data kesehatan mental remaja kita menunjukman angka yang mencemaskan. 15.5 juta remaja kita alami mental terganggu. 2,45 juta remaja diantaranya alami gangguan kejiwaan.
Penggunaan gadget juga tak membangun sikap positif dalam kehidupan maya. Pengguna gadget kita saat ini termasuk yang paling brutal di dunia. Di asia tenggara nilai kesopanan bergadget juga yang terburuk. Keadaan ini memberi pesan bahwa bergadget punya resiko besar pada kehidupan, khususnya buat anak.
Apakah bisa atau apa mungkin hidup di zaman ini anak tak bergadget?
Saya sendiri merasa tak bisa memberi jawaban tepat atas masalah ini. Tapi saya ingin katakan, bahwa dua icon gadget dunia, Bill Gates dan Steve Jobs. Dua orang ini tidak mengijinkan anak-anaknya bersentuhan dengan gadget. Pendiri Microsoft itu memberi hadiah gadget untuk pertamakalinya di hari ulangtahun anaknya yang ke 14. Bill Gates lebih suka anaknya semasa kecil bermain dengan teman sebaya. Sementata Steve Jobs lebih suka anaknnya membaca buku dan berdiskusi sambil makan bersama keluarga.
Mungkin dua icon dunia itu tahu resiko penggunaan gadget bagi anak. Mungkin juga dua maestro teknologi IT itu tahu betapa pentingnya usia anak untuk tumbuh berkembang secara alamiah dengan berselaras pada kehidupan sekitarnya. Dengan pengalaman itu, saya kira sebagai orang awam, kita bisa mengambil hikmah secara bijak untuk kehidupan kita.
(Januari 2024)