Gaza, Manusia dan Kita

unnamed (16)
Sering kumatikan atau kualihkan, ketika ada tayangan seputar Gaza dan Palestina. Bukan tak aku suka. Atau anti. Hatiku tipis. Sering tak kuat menyaksikan penderitaan dipelupuk mata. Lebih tersika lagi, karena aku merasa tak banyak bisa berbuat. Gaza seperti ladang pembantaian dan manusia hanya menjadi saksi tak berdaya.
Cerita Gaza adalah cerita tragedi kemanusiaan. Pertama, ketika manusia menjadi tak berharganya. Kematian hanya soal angka. Tak peduli lagi berapa jumlahnya. Tak peduli siapa yang mati: anak-anak, perempuan hingga orang tua. Tak peduli lagi apa yang disasar: rumah sakit, tempat ibadah bahkan tempat pengungsian.
Kedua, tak berartinya nilai-nilai. Manusia berbeda dari binatang, karena ada nilai yang mengikuti. Jika nilai lepas dari diri manusia, maka yang tersisa adalah binatang. Pada binatang tak ada rasa dan emphaty. Kematian pihak lain tak peduli. Itu konsekwensi dari pudarnya nilai-nilai. Persetan dengan kematian.
Ketiga, hancurnya peradaban. Kisah Gaza adalah kisah tragedi peradaban manusia. Telah runtuh semua sendi peradaban manusia di Gaza: nilai, keindahan, keluhuran, kecerdasan, emphaty, kebersamaan dll. Tak ada tangan-tangan manapun yang hari ini mampu mencegah kezaliman di pelupuk mata. Ketakberdayaan kolektif adalah keringkihan peradaban saat ini yang mungkin juga akan segera berakhir.
Pesan intinya bukan semata perilaku Israil atas Palestina dan utamanya di Gaza. Tapi soal dimana manusia tak menghargai manusia. Soal manusia tak peduli nilai-nilai. Soal manusia tak menghargai etika. Jika itu terjadi, dimanapun tempatnya, kerusakan akan terjadi. Kebudayaan dan peradaban manusia cepat atau lambat akan tumbang. Bergeser menjadi kekuasaan dan hukim rimba: siapa yang kuat, siapa yang menang. Peristiwa Gaza potensial terjadi di mana-mana.
Januari 2024