Ijinkan Aku Meriasmu

IJINKAN AKU MERIASMU
Juna terkejut. Perempuan yang sangat dikenalinya itu masuk halaman tempat ia tinggal. Sendirian!
Seperti mustahil. Hampir dua bulan ditempat barunya, tak ada satupun orang yang mengetahui. Termasuk teman kost.
“Salah alamatkah? pikirnya dalam hati.
Benak Juna seperti menari tiada henti. Perempuan yang coba dihindari itu justru pertama kali datang. Bukan Zena, kawan satu tim penelitian. Atau Kastar, teman satu kost yang sering berangkat kuliah bareng.
Tapi ini Tania. Sahabat dekat sekaligus kawan berkegiatan yang namanya sedang naik daun di kampus lantaran memiliki banyak prestasi. Perempuan pintar itu selalu mengajak diskusi tiap ada masalah, tapi akhir-akhir ini Tania lebih sering mengganggu pikirannya.
Juna bangkit dari kursinya. Ia berjalan beberapa langkah ke ujung teras seperti hendak menyambut tamu Istimewa. Dari kejauhan senyum manis Tania tak putus mengikuti langkahnya.
“Kamu tak salah alamat, kan?” kata Juna mendahului menyapa begitu jaraknya sudah mendekat.
Tania tak langsung menjawab. Ia hanya memberi respon senyum sambil menerima jabat tangan Juna.
“Motormu jangan parkir sembarangan kalau mau sembunyi” kata Tania menunjuk vespa tua Juna yang diparkir di tengah halaman di bawah pohon mangga. Vespa tua Juna memang unik dan termasuk yang mudah dikenali di kampus.
Juna sejenak mengkerutkan keningnya. Otaknya belum sampai kalau Tania seperti tahu ia sedang dalam persembunyian. Perempuan ini memang kadang kelewat cerdas dalam membuat analisa.
“Tempat ini enak. Nyaman. Berbatas langsung dengan sawah,” kata Tania seperti tak memberi kesempatan Juna bertanya macam-macam.
Tania berjalan ke tepi teras. Ia berdiri menghadap bentangan sawah yang umumnya masih basah terendam air. Dari teras itu, Tania juga bisa menyaksikan langsung perbukitan secara terang dan tak terhalang.
“Teduh dan indah tempat ini. Pantas, kamu betah di sini” kata Tania pada Juna yang sudah berdiri disampingnya.
“Duduklah, jangan lama-lama kamu bikin aku salah tingkah” kata Juna ketika Tania berjalan-jalan di sekitaran teras yang terasa lapang dan melihat kiri-kanan rumah yang terlihat asri.
Juna masuk ke dalam rumah setelah Tania duduk di satu kursi panjang yang terbuat dari kayu tua. Diantara kursi itu ada meja kayu cukup tebal dan lebar yang diatasnya terlihat sebuah laptop dan bercecer buku disekitarnya.
Tak berapa lama Juna keluar membawa dua teh botol dingin dalam genggaman tangannya dan diletakkan di atas meja.
“Sejak sering diskusi sama kamu, aku jadi suka minuman ini dan menyimpan stok di kulkas. Ketularan kamu” kata Juna ramah layaknya tuan rumah yang baik sambil meminta Tania minum.
“Jadi, mengapa kamu mesti bersembunyi?” tanya Tania sambil tersenyum usai meraih teh botol didepannya.
Senyum Tania seperti mewakili seluruh isi pikirannya. Juna membaca itu. Kawan diskusinya itu seperti paham apa yang terjadi pada dirinya.
“Kamu bertanya apa menuduh?” jawab Juna sekenanya.
Mata Juna mengarah pada wajah sahabatnya. Tapi tatapan itu tak lama-lama dan segera ia alihkan pada obyek lain disekitarnya.
Tania hanya tersenyum melihat reaksi Juna seperti salah tingkah sambil memain-mainkan sedotan dimulutnya.
“Ada yang salah dari pertanyaanku?” tanya Tania datar.
Juna terdiam sejenak. Ia merasa tak bisa bohong dihadapan Tania. Selama ini ia terlanjur dekat lantaran seringnya terlibat dalam kepengurusan organisasi kampus dan seringnya berdiskusi tentang banyak hal bersama Tania. Usai resmi berhenti dari pengurus, Juna memutuskan menyepi dari kesibukan kampus. Pada saat yang bersamaan kebetulan ada koleganya meminta Juna untuk menunggu rumahnya lantaran ada tugas di luar negeri beberapa bulan.
“Kamu telah buang-buang waktumu untuk hal tak penting ini. Kiprahmu cukup banyak di kampus,” kata Juna seperti menganggap angin lalu pertanyaan Tania.
Teh botol Tania yang tinggal sepertiga itu diletakkan di atas meja. Wajahnya tetap mengarah pada Juna dengan senyum kecil yang terus menghias mulutnya.
“Ada yang salah dariku selama ini?” tanya Tania seraya tak peduli apa kata Juna.
“Aku sedang selesaikan skripsiku secepatnya. Kamu lihat sendiri, apa yang ada di meja ini” jawab Juna mencoba meyakinkan Tania.
Tania memperhatikan buku-buku yang berceceran disekitaran laptop.
“Ya, bisa dimengerti” kata Tania sambil meraih beberapa buku dan membaca judulnya satu-satu.
Juna merasa puas bisa menjawab pertanyaan Tania seperti tak terbantahkan.
“Pertanyaanku belum kamu jawab” kata Tania setelah semua judul buku dibacanya.
“Aku tak melihat ada bakat pembohong pada dirimu, Juna. Jawab saja pertanyaanku” sambung Tania sambil melirikkan matanya ke arah Juna.
Juna seperti tak bisa berkelit. Bahasa diplomasinya mentah di depan Tania.
“Jawab jujur saja, dan kita segera ganti topik pembicaraan” tegas Tania.
Sejenak Juna terdiam. Ia mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya seperti ada sesuatu yang berat dikatakan.
“Kamu tidak sedang berhadapan dengan pembohong, Tania” kata Juna memberanikan diri membemberikan jawaban. “Kamu sedang bertemu dengan seorang lelaki pengecut dan pecundang”
Raut muka Juna seperti berubah. Kali ini tak ada senyum menghias bibir. Juna berkata dengan nada yang datar tapi serius.
“Aku tak paham, Juna”
“Mungkin kamu tak akan pernah paham”
“Ya, karena itu jelaskan padaku”
Wajah Tania jadi ikutan serius. Jawaban dan reaksi Juna seperti tak pernah ia rasakan selama ini. Ia tiba-tiba merasa seperti benar-benar telah membuat kesalahan pada Juna.
“Tapi kamu tak perlu marah dengan kejujuran ku ya?” kata Juna seperti memberi catatan khusus.
“Aku mengenalmu selama ini, tapi mungkin aku tak mengenal diriku. Jadi apa salahku?”
“Di mataku, kamu punya empat kesalahan sekaligus” kata Juna tenang sambil menatap wajah serius Tania.
“Empat? Banyak sekali salahku?” kata Tania seperti terkejut mendengar pernyataan Juna.
Tiba-tiba pikiran Tania melayang tak karuan. Ia mencoba mengingat kata dan tindakan apa saja yang sekiranya menyakiti Juna.
“Ya, empat” kata Juna menegaskan kembali.
“Baiklah, katakanlah, aku mau mendengar sepenuh hatiku”
Juna terdiam sejenak seperti sedang menghimpun energi untuk bicara.
“Dengar baik-baik ya.. “
“Ya..”
“Satu.. ” kata Juna sambil menunjukkan telunjuk jarinya. “Kamu itu baik.. “
“Kedua, kamu itu pintar. Prestasimu segudang”
“Ketiga, banyak kemampuanmu bisa kamu tunjukkan di kampus”
Juna sejenak terdiam sambil memandang Tania yang tampak serius mendengar.
“Keempat?” sahut Tania seperti tak sabar.
“Keempat, kamu cantik! Cantik sekali”
Tania tersenyum menggelengkan kepalanya. Ia merasa Juna bercanda. Terdengar lucu dan lugu. Selama ini sekalipun Juna tak pernah keluar kata pujian. Tapi Tania tak berani tertawa. Dilihatnya wajah Juna serius menerangkan.
“Di mana salahku?” tanya Tania penasaran.
“Salahmu? Karena kamu merasuk begitu dalam di hati dan pikiranku tanpa bisa kucegah. Tiba-tiba kamu hadir disetiap waktu dan kesempatanku. Aku tak bisa menghindar. Itu menggaguku” jawab Juna.
“Makin kuhapus bayang-bayang itu, makin kuat pengaruh dirimu dalam pikiranku. Aku tak pernah merasakan itu selama ini” sambung Juna.
Tania menghela nafas. Ia tak mengira Juna serius merasakan situasi batin dalam dirinya. Juna seperti jatuh hati berat padanya tapi dirasakan itu sebagai masalah. Ini mengherankan.
“Itu yang membuatmu menghindar bertemu aku?”
“Ya”
“Itu yang membuat kamu jarang ke kampus lagi karena tidak mau ketemu aku?”
“Begitulah?”
“Itu yang membuatmu harus bersembunyi di pengasingan ini?”
“Ya.. “
Tania terdiam tanpa kata. Dilihat wajah Juna penuh seksama dengan tatapan yang dalam.
“Terus, kamu berhasil dengan caramu itu?”
Juna hanya tersenyum mendengar pertanyaan Tania.
“Juna, ” kata Tania perlahan. “Kenapa tidak kamu utarakan saja pada orang yang mengganggu pikiranmu itu? Percuma saja kamu menghindar”
“Padamu?” sela Juna polos
“La siapa yang sedang mengganggu pikiranmu?” sahut Tania membalikan pertanyaan.
“Itulah masalahnya?”
“Apa masalahnya?”
“Karena kamu berhadapan dengan lelaki pengecut dan pecundang. Aku tak berani. Aku lelaki tak bernyali. Aku jujur mengatakan ini”
Tania terdiam sambil menggelengkan kepalanya. Diraihnya lagi teh botol didepannya dan diminumnya beberapa teguk.
“Juna..” kata Tania sambil bangkit dari duduknya dan berjalan beberapa langkah sambil menyandarkan tubuhnya di tiang teras dekat Juna duduk.
“.. banyak perempuan yang tak mendapatkan lelaki impian karena lelaki yang dicintai dan mencintainya tak berani mengutarakan isi hatinya. Menyedihkan sekali bukan?” lanjut Tania.
“Aku bicara kamu, Tania” kata Juna seperti hendak meluruskan pembicaraan yang melebar.
“Aku juga bicara diriku dan bicara tentang banyak perempuan lain yang mungkin sama dengan diriku” kata Tania
“Aku belum paham maksudmu?”
“Seperti katamu, kamu mungkin tak akan pernah paham”
“Ya, terangkan padaku biar aku paham”
Tania kembali duduk ditempat semula. Posisinya sedikit digeser dan menghadap persis kearah Juna duduk.
“Yang tersiksa karena terbayang-bayang seseorang tak hanya kamu, Juna. Aku juga. Dan seseorang yang menyiksa batinku itu kamu, paham?”
Juna terdiam tanpa reaksi. Pikirannya seperti melayang kemana-mana. Ia tak menduga kalau Tania yang sangat dikagumi dan mungkin dicintainya itu ternyata menaruh hati yang sama.
“Juna, jika kamu mendapatkan perasaan seperti itu padaku belakangan ini. Jujur kukatakan, aku sudah merasakan sejak awal-awal kita bertemu. Sudah lama aku memendam cinta padamu. Coba bayangkan, betapa risaunya aku berharap ada kata cinta meluncur dari mulutmu. Tapi aku tak berani terlalu berharap karena mungkin tak ada cinta dihatimu padaku. Dan tiba-tiba kamu menghilang tak tahu rimbanya.”
Juna tiba-tiba merasa bersalah dengan sikapnya. Tapi ia tak tahu apa yang mesti diperbuat. Soal cinta dan mencintai bagi dirinya masih sesuatu yang asing. Ini pengalaman pertama ia mencintai seseorang.
“Tania, aku haru mendengar ucapanmu sekaligus merasa bersalah dengan sikapku. Tapi aku tak tahu harus katakan apa. Aku risau dengan diriku sendiri” terang Juna.
Tania menarik nafas dalam-dalam. Ia memandang wajah kawannya dengan penuh senyum.
“Juna, jika kamu memujiku setinggi langit, aku menganggap itu berlebihan. Justru dihadapanmu, dihadapan kedewasaanmu, dihadapan kepintaranmu, aku selalu merasa seperti anak-anak. Sebenarnya aku justru tak percaya diri menghadapimu.”
Juna hanya menggelengkan kepalanya seperti tak percaya dengan perkataan Tania.
“Menurutku…” sambung Tania. “..orang sepertimu, bisa memilih perempuan manapun. Dan aku yakin, mereka akan mau, karena kamu memang pantas untuk dicintai. Karena itu, jika aku ternyata ada dalam radius cintamu, aku merasa orang yang beruntung di dunia”
“Tania, kamu berlebihan. Sangat berlebihan. Aku tak sejauh itu”
“Itu penilaianku. Kamu tak boleh protes”
“Tapi kamu berhadapan dengan seorang pengecut. Kamu tak boleh mendapatkan lelaki macam aku”
“Tidak. Kamu pemberani! Sepanjang berkiprah bersamamu aku bersaksi atas keberanianmu. Dimataku, tak ada yang kamu takut dari kehidupan ini. Tapi soal cinta beda, itu soal hati. Dia punya logika sendiri yang tak bisa disamakan dengan yang lain. Orang sepertimu tak akan mampu mengatakan cinta”
“Aku tak mengerti harus bagaimana, Tania. Mungkin aku tak akan pernah mendapatkan cinta yang kuharapkan”
“Tapi sekarang aku mengerti! Aku sedang menjemput takdir cintaku”
“Aku tak paham maksudmu”
“Sekarang, biarkan aku masuk dalam kehidupanmu. Terimalah. Milikilah sepenuh hatimu. Aku juga akan biarkan dirimu masuk dalam kehidupanku dan akan kumiliki sepenuh hatiku. Kita akan sama-sama saling memiliki. Semoga tempat ini jadi jalan takdir kebersamaan kita. Setuju, kan?”
Tania dan Juna saling pandang. Keduanya sama sama terdiam dalam senyuman. Seperti ada komunikasi yang deras dibalik senyum yang penuh arti diantara mereka berdua.
“Tania, benar kamu pantas memilikiku?” tanya Juna seperti meyakinkan pada Tania.
“Lebih dari pantas. Kamu terlalu sempurna untuk kumiliki,” jawab Tania cepat.
Juna seperti tak berkutik dengan jawaban cepat Tania.
“Mungkin kita ini sama-sama sedang jatuh cinta. Tak ada yang terlihat kurang. Cinta memang membuat sesuatu yang dicintai tampak sempurna”
“Mungkin begitu” kata Tania tampak senyum berseri. Dia benar-benar merasa memiliki cinta yang diimpikan selama ini.
“Tapi ada satu hal yang kamu jangan tertawakan aku ya. Satu hal ini yang membuatku merasa minder didekatmu”
“Katakan saja,”
“Dimataku, kamu ini sudah seperti artis. Segala penampilanmu selalu menarik perhatian. Sedangkan aku tak ngerti berhias. Tak peduli penampilan. Seperti terlalu jauh aku mengikuti gaya dan penampilanmu”
Tania hanya tersenyum mendengar ucapan Juna. Ia tahu betul Juna kurang perhatian pada penampilan. Tapi Tania tak peduli. Daya tarik Juna di mata Tania bukan soal penampilan
“Penampilan itu soal kecil saja, Juna. Itu hal tak penting. Aku malah tak tersanjung jika kamu memujiku karena penampilan”
“Itu yang kurasakan..”
“Baiklah, kalau begitu dengar ucapanku”
Tania membenahi posisi duduknya. Ia pandang Juna dengan seksama.
“Menurutku, kamu itu sudah rapi. Jalan pikiranmu rapi dan tertata bagus. Itu pesona. Itu seksi,” terang Tania.
‘Kedua.. ” sambung Tania. “…kesantunan dan tuturkatamu menurutku melebihi segala keindahan dan keanggunan busana para artis”
“Dan ketiga. Ini yang paling penting. Kedewasaanmu. Bagiku, kedewasaan itu kesempurnaan penampilan seorang lelaki. Paham?”
Ucapan Tania mengalir lancar. Ia senang bisa mengekspresikan pujian pada seseorang yang kini telah menjadi kekasihnya. Sesuatu yang sebenarnya telah dipendam lama.
“Tania, Kamu mabuk cinta. Kamu kehilangan obyektifitas”
“Begitulah yang kurasa, jangan protes. Cinta punya obyektifitasnya sendiri”
Juna menggelengkan kepalanya. Serbuan kata-kata Tania tak bisa ditepisnya lagi.
“Tapi kamu tak menjawab masalahku”
Tania lagi-lagi tersenyum mendengar perkataan Juna. Ia sudah merasa seperti di atas angin.
“Soal penampilanmu, kan? Tenang saja. Jika kamu Ijinkan aku untuk satu hal saja, semua akan beres”
“Apa itu?
“Ijinkan aku Ikut merias penampilanmu”
Juna hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Mei, 2023
https://shorturl.fm/CoP7o