1753677551349

Prank Lebaran dan Kita

Saya mendengar istilah baru; ‘prank lebaran’. Sebuah istilah candaan untuk menertawakan diri sendiri, menertawaan ‘kondisi sosial’ kita di saat lebaran. Kisah ‘tipuan’ legendà Kaleng Khong Guan isi rengginang. Tiap tahun selalu ada saja daur ulang cerita jenaka prank lebaran yg senantiasa membuat decak senyuman.

Lebih dari sekedar prank lebaran, Khong Guan isi rengginang itu sebenarnya potret sosial kita. Bahwa tampilan luar itu berupa kaleng biskuit, tampak keren, modern, tapi dalamnya adalah rengginang. Sesungguhnya kita adalah rengginang. lidah kita adalah rengginang. Identitas kita adalah rengginang. Kaleng biskuit hanyalah asesoris luar memperindah tampilan.

Andai disajikan di atas piring ditaruh roti Khong Guan dan rengginang, saya yakin rengginang akan lebih dulu habis. Mengapa? Karena memang lidah budaya kita adalah ŕengginang.

Kita selama ini memang kurang berhasil melakukan penyesuaian kreatif atas produk kita sendiri berhadapan dengan produk modern. Bukan hanya soal rengginang, tp untuk rengginang dalam berbagai bentuk kehidupan. Ada rengginang kuliner, ada ‘rengginang’ seni budaya, ada ‘rengginang’ arsitektur dan dalam skala besar bernama ‘rengginang’ pembangunan.

Banyak dalam kehidupan kita saat ini yang seperti prank lebaran itu. Tampilan luar ‘modern’, keren, up to date, tapi dalamnya barang lokal yang bernama rengginang. Meski mungkin hanya sekedar wadah, tp kondisi sosial kita memang kebanyakan seperti itu.

Jika ditilik lebih dalam lagi, fenomena prank lebaran itu adalah bentuk krisis identitas. Satu bentuk ketakpercayaan diri menunjukkan jati diri, dilain pihak tidak sepenuhnya siap menjadi orang lain. Begitulah posisinya kehidupan sosial budaya kita saat ini. Kita tidak berhasil menampilkan rengginang bersanding dan bersaing dengan biskuit. Rengginang, dalam cita rasa kita sendiri mungkin kuliner kelas dua dibanding biskuit. Begitupula inferiornya kita dihadapan para bule dan segala produk bule yg mungkin dianggap modern, hebat dan gagah.

Pertanyaannya, mungkinkah menaikkelaskan rengginang menjadi sejajar dengan biskuit? Jawabnya, kenapa tidak. Belajar dari Maestro Didi kempot, ternyata ia berhasil melakukan penyesuaian kreatif dengan mengolah rengginang yg bernama campursari bersaing di blantika pop modern dengan penuh percaya diri. Didi kempot tak hanya membawa rengginang campur sari, tp juga tampil percaya diri mengenakan ‘rengginang’ baju jawa di layar tv, dihotel hotel berbintang hingga dikampus kampus tanpa terasa kuno dan ketinggalan zaman.

Kita butuh banyak insinyur kebudayaan, insinyur enterpeneur, insinyur pembangunan, untuk mengolah suku cadang tradisi lokal yang amat kaya untuk bersanding dan bersaing dengan aneka produk modern dalam berbagai bentuk. Suatu pekerjaan rumah yang tak mudah dan takterelakkan.

Mei 2021