Rumitnya Cinta Milea

Rumitnya Cinta Milea
Sapta menyandarkan punggungnya ke sofa setelah meraih koran baru di atas meja. Dibukanya lembar demi lembar media lokal itu sambil menanti tuan rumah membuatkan minuman di dapur.
“Sungguh bejat pejabat itu. Seenaknya memperlakukan perempuan” kata Sapta setelah Milea datang dan meletakkan dua cangkir minuman dan sepiring panganan di atas meja tamu.
Mata Sapta tampak fokus pada sebuah berita di satu sudut halaman koran. Isinya mengusik pikirannya.
“Kenapa kamu uring-uringan. Ada berita apa?” tanya Milea sambil mempersilahkan minum Sapta, tamunya.
Milea kemudian duduk di sofa dan membiarkan tamunya dengan koran yang masih dibacanya.
“Seperti habis manis sepah dibuang. Seorang perempuan itu ditelantarkan begitu saja setalah dinikmati. Kurang ajar betul !”
“Perempuan itu pasti cantik” sahut Milea datar.
“Pastilah, ” sahut Sapta. “Perempuan yang diajak ke sebuah hotel pasti karena kecantikannya” sambung Sapta sambil meletakkan koran itu di atas meja dan meraih cangkir didekatnya.
“Dasar laki-laki” kata Milea sambil tersenyum kecut.
“Kok laki-laki aja yang disalahin, kenapa perempuannya juga mau”
Sapta tak terima dengan komentar Milea. Sebagai laki-laki ia jadi merasa ikut tersudut.
“Kepepet, kali”
“Kepepet atau jual diri?”
“Teganya kamu menilai perempuan seperti itu”
“Faktanya begitu, kan. Untuk apa dia mau diajak pejabat itu?”
“Jadi, siapa yang salah? Pejabat itu atau si perempuan?”
“Dua-duanya! Pejabatnya bejat. Perempuannya juga murahan”
“Tadi kamu mengumpat pejabat. Sekarang kamu juga menyalahkan perempuannya. Tidak konsisten!”
“Faktanya begitu. Aku mau bilang apa?”
“Ya mestinya kamu bisa melihat dibalik peristiwa itu. Kamu bukan orang awam”
“Biarkan Itu tugas akademisi melakukan penelitian. Kita ngobrol yang lain saja”
Milea hanya menggelengkan kepala mendengar cara Sapta menjawab begitu ringan.
Sapta kembali menyeruput minuman yang masih panas dan meraih panganan setelah meletakkan cangkir di atas meja.
“Boleh aku menjawab permintaanmu? Aku tak perlu waktu lama membuat keputusan”
Milea mencoba berkata datar setelah Sapta bersandar di sofa dengan santai.
“Kamu serius? Tak perlu waktu berfikir?” tanya Sapta yang tak menyangka Milea akan memberi keputusan secepat itu.
Beberapa waktu lalu sebelum Milea ke dapur membuatkan minuman, Sapta mengutarakan perasaannya untuk mendapatkan cinta Milea. Ia memberi waktu untuk membuat keputusan itu.
“Aku serius, seperti kamu serius mengutarakan maksudmu”
“Baiklah, aku dengar keputusanmu”
Perasaan Sapta seperti tiba-tiba teraduk-aduk. Antara rasa optimis cintanya diterima karena selama ini Ia merasa sikap Milea sangat positif terhadapnya. Rekan satu kantornya itu seperti sudah punya kedekatan sendiri dengannya lantaran sering melakukan kerja-kerja bersama untuk proyek perusahaan. Hubungan kedekatan dengan Milea selama ini bagi Sapta sudah dirasakan sangat personal.
Di sisi lain, tetap saja Milea adalah seorang perempuan dengan segala misterinya. Di mata Sapta, Milea adalah perempuan tangguh, sangat terampil dalam bekerja. Kepribadiannya sangat menarik dan terbuka. Ia salah satu bintang di kantor kalau sudah urusan pekerjaan.
“Sapta, keputusanku sebaiknya kamu memilih perempuan lain saja. Biarkan aku saat ini masih sendiri. Maafkan aku tidak menerima permintaanmu” kata Milea datar dan perlahan.
Mendengar keputusan Milea membuat dada Sapta seperti bergemuruh. Kedekatan pribadi dan sinyal-sinyal positif Milea padanya ternyata tak cukup menjadi modal untuk meraih hatinya. Keputusan Milea tak seperti dugaannya.
Sapta terdiam beberapa saat. Ia seperti sedang menata hatinya dan berusaha untuk tetap bersikap tenang.
“Sudah bulat keputusanmu, Milea?”
Melia hanya menjawab dengan anggukan kepalanya.
“Kamu tak memberi alasannya?”
Sapta seperti masih keberatan dengan keputusan Milea.
“Kamu sudah berjanji akan menghormati segala keputusanku.”
Sapta hanya diam dan menganggukkan kepala. Itu sudah janjinya.
“Semoga kamu baik-baik saja. Saya ucapkan terima kasih kamu telah ungkapkan perasaanmu. Itu satu kehormatan bagiku” kata Milea saat Sapta masih terdiam.
“Pasti aku masih berat menerimanya” ujar Sapta mencoba tersenyum meski terlihat berat.
“Semoga, itu tak lama”
“Tak tahulah, mungkin terlalu besar harapanku padamu”
Milea berusaha memahami perasaan patner kerjanya yang selama ini menjadi idola banyak perempuan. Sapta selalu menjadi gosip teman-temannya di kantor. Sosoknya yang tinggi besar, tampan dan selalu jaga penampilan membuatnya pantas jadi gunjingan kaum hawa.
“Baiklah, aku terima keputusanmu, Mil. Kita berteman lagi seperti semula. Kamu tak perlu menjauhiku”
“Kenapa mesti menjauhimu? Justru aku menduga kamu yang akan menjauhiku setelah ini”
“Aku pastikan tidak. Kita berkawan seperti biasa dan seperti tak ada apa-apa”
“Bagus. Aku juga berharap seperti itu”
Sapta mencoba tersenyum lega. Ia tetap tak ingin kehilangan Milea meski harapannya tak tercapai.
“Sekarang anggap peristiwa ini selesai. Aku menghormati keputusanmu. Tapi kalau kamu berkenan, bolehkan aku bertanya satu hal saja?”
“Asal aku bisa jawab, akan kujawab pertanyaanmu”
“Apa alasan sebenarnya kamu tak menerima cintaku?”
“Apa pentingnya, Sapta. Sudahlah kita tutup saja soal ini. Kita ngobrol yang lain. Itu akan lebih seru’
“Rasanya aku memerlukan itu Mililea. Barangkali itu bisa menjadi catatan buatku. Tapi kalau itu kamu tak keberatan”
Milea tersenyum mendengar pertanyaan Sapta yang terlihat masih penasaran. Keputusannya seperti tak memuaskan.
“Tapi benarkan kamu menghormati keputusanku?”
“Ya, pasti. Jamin 100%”
“Baiklah, dengar penuh seksama ya” kata Milea dengan senyum manisnya.
“Baik tuan putri” jawab Sapta sambil membenahi posisi duduknya seperti seorang pegawai yang mendengar nasehat bosnya.
Milea hanya tersenyum melihat gaya canda Sapta.
“Alasannya, karena kamu tampan dan pintar merayu” kata Milea jelas dan tegas.
Sapta mengerutkan keningnya. Ia tak paham keterangan Milea.
“Aku tak paham, Mil”
“Karena kamu tampan, dan mungkin kamu merasakan itu, sehingga kamu selalu bilang aku cantik, dan selalu memujiku setinggi langit dengan kata-kata puitis yang membuat hati perempuan luluh”
“Salahkah?”
“Tidak. Tak ada yang salah”
” Kamu memang cantik Milea, dan aku jujur mengatakannya. Aku jatuh hati dengan kecantikanmu”
Milea diam sejenak. Ia meraih cangkir didepannya dan meminumnya beberapa teguk.
“Maaf, kamu belum bisa mencintai” kata Milea datar setelah meletakkan canggir minumannya di atas meja.
Lagi-lagi Sapta mengerutkan keningnya. Ia tak paham arah pembicaraan Milea.
“Aku mencintai sepenuh hatiku. Mencintai sejujurnya” kata Sapta dengan mimik serius.
“Kamu tahu, cintamu membuatku tak berarti”
“Aku tak paham, Mil. Bener-bener tak paham”
Milea membiarkan Sapta dalam kebingungan. Tapi dia berusaha menjelaskan pelan-pelan.
“Aku tak pernah memilih wajahku seperti apa. Kecantikan ini bukan aku yang bikin. Aku hanya menerima. Tuhan yang memberi. Itu anugrah. Aku bersyukur diberi wajah cantik.”
“Lalu apa salahnya aku mencintai anugrah Tuhan itu”
“Salah dalam caramu mencintai”
Sapta terdiam mendengar kata-kata Milea. Ia berusaha mencerna dalam-dalam meski masih mengawang-awang.
“Tanpa kecantikanku. Aku menjadi bukan apa-apa. Kamu mencintai yang bukan aku perjuangankan. Kamu mencintai sesuatu yang tak datang dariku. Begitu kecilnya aku dimatamu. Begitu tak berartinya aku”
Dada Sapta seperti tiba-tiba sesak. Ia sedikit mulai paham. Ada yang salah dalam ia mencintai.
“Kamu pria tampan. Aku mengakui ketampananmu. Dan kamu melihat aku cantik. Kamu terpesona dengan kecantikanku. Tapi aku tak tersanjung dengan itu semua. Kamu mengecilkan arti cinta dan sekaligus mengecilkanku”
Sapta menarik nafas dalam-dalam. Sedikitpun tak terpikirkan akan sejauh itu pandangan Milea tentang cinta dan tentang dirinya.
‘Anugrah cantik itu bukan hanya padaku. Tuhan memberikan juga pada banyak yang lainya. Kalau keindahan seperti itu yang menjadi daya tarik, kamu bisa memilih dan memiliki banyak yang lainya. Banyak yang lebih dari aku”
“Aku mencoba paham maksudmu, tapi itu terlalu rumit”
“Aku menilai kamu tak bisa mencintaiku dan tak bisa mencintai siapapun. Karena kamu sesungguhnya hanya mencintai egomu sendiri.”
“Kamu lebih dari sekedar cantik, Mil. Kamu orang baik dan pintar. Mungkin caraku salah menyampaikan.”
“Reflekmu dan ekspresimu terhadapku, itu bahasa jujur darimu”
Sapta menggelengkan kepalanya lantaran cara Milea bereaksi sangat cepat.
“Tatapan matamu lebih berbicara dari kata-katamu.”
“Sebegitukah penilaianmu terhadapku”
“Itu pandanganku, mungkin salah”
Sapta tak menampik pandangan Milea. Setiap ketemu dengannya, Sapta tak henti-henti mencuri pandang. Kecantikan Milea memang penuh pesona di mata Sapta. Mungkin Milea menangkap itu.
“Maaf Sapta, caramu melihatku seperti pejabat di koran itu yang hanya melihat perempuan dari kecantikannya.”
“Mil, aku tak seburuk itu” sahut Sapta cepat dengan nada yang meninggi.
“Semua rayuanmu, puisi-puisimu, kata-kata indahmu jelas tertuju sepenuhnya pada kecantikanku. Aku tak happy. Aku tak tersanjung. Entah dengan perempuan lain”
Sapta tersudut. Ia tak punya kata-kata lagi untuk membuat alasan.
“Sapta, kecantikan itu bisa pudar oleh waktu. Mungkin ada masanya membosankan. Pada saat itu seperti katamu, mungkin saja habis manis sepah dibuang. Itu mengapa banyak terjadi perceraian meskipun pasangan dalam keluarga itu terlihat tampan dan cantik”
“Bahasamu rumit Mil, tapi aku mencoba paham. Aku memang salah dalam mencintai”
“Ini hanya pandangan dan sikapku karena kamu yang memintanya.”
Sapta hanya bisa terdiam. Ia tak bisa menghindar dari segala kata yang diucapkan Milea.
“Milea, apakah jika aku merubah caraku mencintaimu, itu akan bisa merubah keputusanmu” kata Sapta mencoba berusaha merubah keputusan Milea.
Untuk beberapa saat Milea terdiam. Matanya tertuju pada ujung kaki yang digerak-gerakkan seperti sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk memberikan jawaban pada Sapta.
“Sapta, silahkan merubah caramu dalam mencintai seseorang. Pilihalah perempuan lain dengan segala keutuhannya dan penuh kehormatan. Bukan aku”