Screenshot_20250916_155941_Google

Tan dan Berpikir Ilmiah

Obrolan pagi itu cukup santai. Sambil menyeruput kopi dan cemilan di ruang tengah rumah, putriku kembali menyinggung Tan Malaka. Mungkin ia baru menonton beberapa podcast yang membahas tokoh tersebut. Bacaan Madilog-nya pun seakan kembali hidup dalam diskusi kami.

Setelah membahas beberapa hal, ia kembali menyoroti berpikir ilmiah sebagaimana yang “dipromosikan” oleh Tan. Menurutnya, banyak dialog terjadi tanpa dasar ilmiah, sehingga seringkali pertukaran pikiran tak nyambung. Pikiran mistis juga masih mewarnai cara berpikir banyak orang. Tak jarang pula orang bersikap tertutup—pokoknya pendapatnyalah yang benar. Padahal, menurutnya, pikiran harus objektif dan bisa diuji secara ilmiah. “Kalau tidak, apa ukurannya?” kira-kira begitu pertanyaan putriku.

Saya tidak menolak pentingnya berpikir ilmiah. Namun, itu hanyalah salah satu metode berpikir. Tidak semua hal harus dijelaskan atau berdiri di atas dasar ilmiah. Ada metode berpikir lain yang berhak “hidup” dengan caranya sendiri.

Cara berpikir sangat bergantung pada paradigma—sebuah dogma dasar yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Empirisme, misalnya, menjadi bagian dari sekumpulan asumsi dalam berpikir ilmiah yang harus diterima begitu saja. Dari sana, logika berpikir dibangun. Apa yang tidak bisa “disentuh” indra dianggap tidak masuk akal. Pada titik itu, empirisme sebenarnya telah mengubur Tuhan dan agama dalam persoalan yang paling mendasar. Tapi itu bukan isu utama dalam pembicaraan kami.

Paradigma berbeda akan melahirkan cara berpikir yang berbeda. Sama-sama melihat pohon, tapi sudut pandangnya bisa lain. Satu pihak menganggap pohon sekadar materi—kumpulan atom, sel, dan molekul—sementara pihak lain melihatnya tidak hanya sebagai materi, tetapi juga memiliki “nyawa” yang membuatnya hidup.

Mana yang benar? Semua memiliki legitimasi kebenarannya masing-masing, tergantung paradigma yang digunakan. Ada kalanya tidak ada titik temu antara satu dan lainnya. Namun, dalam situasi lain, sintesis mungkin saja terjadi. Sebagian ilmu pengetahuan bahkan memasukkan hal-hal metafisik ke dalam pengembangan studinya. Tentu ini bertolak belakang dengan prinsip berpikir ilmiah yang ketat.

Sebagai contoh, ide peak experience (pengalaman puncak) dan kesadaran transpersonal Maslow—sebuah pengalaman spiritual yang melampaui batas-batas ego—adalah bentuk kesadaran yang sulit diukur secara empiris. Maslow, bapak psikologi humanistik, mungkin tidak menyebutnya sebagai metafisika, tetapi jelas arah pemikirannya mengarah ke sana.