1753769176970

YAKIN

Yakin. Di situlah mula. Titik awal. Dari satu, bukan dari nol.

Keyakinan adalah keutuhan. Bulat. “Selesai.” Orang tidak keluar dari keyakinannya. Ia tidak bisa dipahami, apalagi diukur, di luar keyakinannya.

Keyakinan adalah dogma. Sementara filsafat lahir sebagai refleksi atas dogma. Dari refleksi itu, terbentuk struktur berpikir yang disebut epistemologi. Setiap keyakinan membentuk epistemologinya sendiri.

Pikiran dan tindakan seseorang adalah cerminan dari dogma dasarnya—yakni keyakinannya. Sebab, pikiran dan tindakan hanyalah fungsi dari keyakinan itu sendiri. Maka, untuk mengubah cara berpikir dan bertindak seseorang, harus dimulai dengan mengubah keyakinannya. Dalam istilah Thomas Kuhn, ini disebut sebagai perubahan paradigma.

Berbeda dengan Descartes. Ia berpandangan bahwa awal dari segala sesuatu adalah keraguan. Ia memulai berpikir dari keraguan. Tapi, apa yang diragukan? Jawabannya: keyakinan. Maka sejatinya, keyakinan mendahului keraguan.

Bagi Descartes, keraguan adalah metode. Sebuah jalan untuk menguji keyakinan, agar keyakinan itu menjadi lebih utuh, lebih kokoh, lebih sempurna.

Namun dalam praktik kehidupan sosial, keyakinan seringkali tidak berhadapan dengan keraguan, melainkan dengan keyakinan lain. Dalam istilah Hegel, pertemuan antar keyakinan itu disebut dialektika: satu menjadi tesis, yang lain menjadi antitesis. Dari pergumulan itu lahir sintesis—sebuah bentuk baru yang merupakan hasil perjumpaan antar keyakinan.

Sintesis itu kemudian menjelma menjadi tesis baru, dan proses dialektika berlanjut. Begitulah keyakinan berevolusi. Namun tetap, yang mula adalah keyakinan, bukan keraguan.

Keyakinan, terutama tentang apa yang benar, adalah sesuatu yang inhern dalam diri manusia. Tidak ada yang sepenuhnya salah dalam keyakinan, karena yang salah hanyalah perbedaan tentang apa yang dianggap benar dalam kerangka masing-masing keyakinan.

Lalu bagaimana mungkin semua keyakinan dianggap “benar”? Karena dalam dirinya sendiri, setiap keyakinan bersifat utuh, lengkap dengan tolok ukurnya sendiri. Pemilik keyakinan memulai segalanya dari keyakinan bahwa apa yang diyakininya adalah kebenaran. Dari situlah ukuran benar dan salah dibentuk.

Dalam ajaran Islam, keyakinan adalah sifat dasar manusia yang bersifat universal. Disebut hanif—fitrah yang telah ditanamkan sejak mula (QS. Ar-Rum: 30). Yakni kecenderungan alami manusia untuk mencari dan memeluk kebenaran yang sempurna. Ini adalah manifestasi dari perjanjian primordial antara manusia yang terbatas dengan Zat Yang Maha Sempurna (QS. Al-A’raf: 172). Dia yang sempurna dan tak terjangkau itu bernama Allah (QS. Taha: 8).

Kesempurnaan hanya milik Allah. Sementara manusia hanyalah makhluk yang terus bergerak menuju kesempurnaan. Seperti Descartes yang terus-menerus meragukan keyakinannya demi menemukan kebenaran yang lebih terang. Atau seperti proses dialektika Hegel yang terus-menerus menggali, menggugat, dan memperbarui keyakinan demi mendekati kebenaran yang lebih hakiki.

sept 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *