Pelajaran dari Alengka

Saya kira itu pilihan yang berat. Keputusan Gunawan Wibisono untuk beroposisi terhadap penguasa negerinya dan berpihak kepada Rama bukanlah perkara mudah. Apalagi, penguasa Alengka itu bukan hanya seorang raja, tetapi juga kakaknya sendiri.
Namun, apa boleh buat, Gunawan Wibisono telah teguh pada pendiriannya. Ia memilih melawan kakaknya, Rahwana. Tepatnya, ia berpihak pada kebenaran dan menentang kelaliman.
Padahal, jika ingin hidup aman dan nyaman, Gunawan Wibisono bisa saja memilih jalan lain: mengikuti jejak adiknya, Kumbakarna, yang memilih loyal kepada penguasa. Kumbakarna bukan tidak tahu akan kelaliman penguasa Alengka, namun ia memilih menjalani dharma sebagai seorang ksatria: membela negara dalam kondisi apa pun.
Epos asal India ini seakan bukan semata karya sastra. Ramayana adalah kitab agung yang sarat nilai-nilai kepahlawanan, keteguhan, dan keberanian. Dalam realitas sehari-hari, Ramayana menjadi pelajaran hidup yang kerap kita jumpai.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kisah Ramayana adalah kisah simbolik. Rahwana menjadi simbol keburukan. Mencuri adalah perbuatan buruk, apalagi yang dicuri adalah perempuan milik orang lain demi memenuhi nafsu pribadi. Perbuatan ini adalah bentuk keburukan yang tak terperi, apalagi dilakukan oleh seorang penguasa yang seharusnya menjaga kehormatan diri.
Lalu, bagaimana seharusnya seorang aparatur negara bersikap terhadap perilaku pemimpinnya? Gunawan Wibisono dapat dibaca sebagai simbol aparatur negara yang memilih berpihak kepada kebenaran dan menentang kelaliman, meskipun pelakunya adalah kakaknya sendiri. Sementara Kumbakarna adalah simbol loyalitas seorang aparatur terhadap negara dan bangsanya. Meskipun dipimpin oleh penguasa lalim, hidup dan mati Kumbakarna diabdikan untuk membela bangsa dan negaranya. Sebuah bentuk nasionalisme yang membabi buta.
Kisah Ramayana ini terasa kontekstual ketika kita tarik ke dalam kehidupan masa kini, terutama menjelang suksesi kepemimpinan. Kita sering menjumpai pengalaman ketika seorang pemimpin menyalahgunakan wewenang. Seperti Rahwana, Raja Alengka yang menggunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi.
Dalam posisi seperti itu, muncul tipologi aparatur negara. Pertama, mengikuti jejak Kumbakarna yang tegak lurus mengikuti pemimpin, meskipun salah. Kedua, mengikuti jejak Gunawan Wibisono yang mengambil sikap tegas melawan atasan yang dianggap melanggar nilai-nilai kebenaran.
Keduanya tentu membawa risiko. Aparatur yang memilih “berjalan lurus” cenderung dibenci, dimusuhi, diasingkan, dihambat kariernya, bahkan dicopot dari jabatan. Sebaliknya, aparatur yang selalu tunduk kepada atasan mungkin akan mendapat berbagai bentuk “apresiasi” dari atasannya. Namun, tak menutup kemungkinan akan mendapat cibiran publik atas sikapnya, atau bahkan bisa menjadi pihak pertama yang terseret jika terjadi masalah hukum.
Belajar dari epos Ramayana, pihak yang paling dirugikan akibat buruknya perilaku pemimpin adalah negara itu sendiri. Aparatur negara tidak dapat bekerja secara maksimal. Negara pun kehilangan orang-orang terbaik dalam menjalankan tugas. Sebaliknya, negara justru potensial rusak dan bangkrut oleh aparatur yang tidak becus bekerja, atau bahkan ikut korup, karena meniru perilaku buruk pemimpinnya.
(des, 2023)