Keharmonisan dalam Keragaman

unnamed (20)
Keharmonisan dalam Keragaman
(Perspektif Keberagamaan Inklusif)
Surat Al-Hujurat ayat 13 memuat pesan universal yang melampaui batas-batas agama, etnis, dan ideologi. Ayat ini menjadi fondasi penting untuk memahami makna agama dalam cakrawala yang lebih inklusif dan manusiawi. Terdapat tiga pesan utama dalam ayat ini yang saling terhubung dalam membentuk kesadaran keberagamaan yang utuh.
Pertama, ayat ini menegaskan bahwa keragaman adalah bagian dari kehendak Tuhan, bukan penyimpangan dari kehendak-Nya. Manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, lalu dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Ini menyiratkan bahwa perbedaan adalah bagian esensial dari ciptaan, bukan sekadar akibat sejarah atau geografi.
Termasuk dalam keragaman ini adalah keragaman agama, baik antaragama maupun di dalam agama itu sendiri. Fakta menunjukkan bahwa umat manusia menganut berbagai keyakinan, dan di dalam setiap agama pun terdapat keberagaman tafsir, mazhab, dan ekspresi spiritual. Al-Qur’an tidak menolak keberagaman itu, melainkan mengajarkan bagaimana manusia mengelola perbedaan dalam kerangka kemanusiaan dan ketuhanan.
Kedua, tujuan dari keragaman itu ditegaskan: “agar kamu saling mengenal” (li ta’arofu). Ini adalah perintah langsung yang memuat nilai luhur dialog, keterbukaan, dan saling belajar. Secara implisit, ayat ini mengakui bahwa kebaikan dan kebenaran tidak dimonopoli oleh satu kelompok, melainkan tersirat dan tersebar pada banyak entitas.
Dari sini, terbentuk pandangan yang mendorong manusia untuk memiliki sikap rendah hati, terbuka, dan saling menghormati dalam posisi kesetaraan. Sikap ini berangkat dari kesadaran bahwa setiap kelompok membawa nilai, pengalaman, dan pencarian spiritual yang berbeda, namun semuanya sedang dalam perjalanan menuju makna dan kebenaran.
Saling mengenal bukan sekadar mengetahui nama dan identitas, tapi juga menghargai keberadaan liyan (yang lain) sebagai sesama ciptaan Tuhan yang sedang menempuh jalannya masing-masing.
Ketiga, Al-Qur’an menyatakan bahwa kemuliaan bukan terletak pada satu kelompok tertentu, tetapi pada taqwa. Ini adalah prinsip revolusioner: kemuliaan tidak diwarisi, tidak dimiliki oleh suku tertentu, agama tertentu, atau ideologi tertentu. Taqwa adalah ukuran yang melampaui batas kelompok, dan menjadi titik temu semua entitas yang merujuk pada nilai kebaikan dan kebenaran.
Pandangan ini mengasumsikan bahwa manusia, baik secara individu maupun kelompok, memiliki kecenderungan hanif—yakni kecenderungan untuk mencari kebenaran, untuk kembali kepada sumber kebaikan yang fitri. Al-Qur’an menegaskan dalam Surat Ar-Rum ayat 30 bahwa:
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.”
Fitrah hanif ini adalah kapasitas spiritual dalam diri manusia untuk mengenali kebaikan dan merindukan Tuhan, meskipun jalannya berbeda-beda.
Masalah muncul ketika ada kelompok merasa bahwa kebenaran dan kebaikan telah selesai pada dirinya sendiri. Klaim ini menutup pintu bagi perjumpaan dan pertumbuhan manusia yang selalu berproses. Ketika kebenaran dianggap telah final dalam satu golongan, maka yang lain akan selalu dinilai keliru, sesat, bahkan musuh.
Inilah yang menjadi latar asbabun nuzul turunnya Surat Al-Hujurat ayat 13—sebuah teguran terhadap kelompok-kelompok yang saling membanggakan asal-usul, suku, atau kedekatan mereka dengan Nabi. Ayat ini membongkar struktur pemikiran yang eksklusif dan menempatkan kebenaran kembali pada parameter moral dan spiritual: taqwa.
Realitas hari ini menunjukkan bahwa klaim-klaim serupa makin banyak bermunculan. Entah dalam wujud fanatisme agama, nasionalisme sempit, atau dogmatisme ideologi, semuanya berujung pada konflik dan ketegangan yang tidak produktif. Dunia menjadi tempat yang keras karena banyak orang tidak mampu menerima bahwa manusia lain pun sedang berjalan menuju Tuhan dengan cara yang berbeda.
Agama sejatinya adalah jalan terbuka menuju Tuhan, bukan lorong sempit yang hanya bisa dilalui oleh segelintir orang. Ketika agama dijadikan klaim eksklusif tanpa ruang dialog, maka agama kehilangan ruhnya sebagai cahaya.