Arah Ekonomi Baru

Membangun Arah Ekonomi Baru: Saatnya Memugar Ulang Fondasi Peradaban
Pertanyaan besar kini mengemuka: apakah ilmu ekonomi yang menjadi dasar peradaban global masih relevan untuk menjawab persoalan-persoalan manusia hari ini? Dunia tak sedang baik-baik saja. Perubahan konstelasi global akibat politik populis seperti yang ditunjukkan Donald Trump, krisis lingkungan yang terus memburuk, jurang sosial yang kian menganga antara si kaya dan si miskin, hingga ancaman perang total yang saling memusnahkan—semua menunjukkan bahwa dunia sedang menuju batas-batas eksistensialnya.
Anehnya, kita masih memegang teguh perangkat lama: teori-teori ekonomi klasik dan neoklasik yang membentuk arsitektur global. Sistem ini menjanjikan efisiensi, pertumbuhan, dan kemakmuran; tetapi dalam praktiknya, justru menciptakan ketimpangan, eksploitasi, dan alienasi. Jika perangkat ini menjadi akar dari ketimpangan dan krisis yang kini terjadi, sudah selayaknya kita bertanya: apakah hukum-hukum ekonomi lama itu masih layak dipertahankan? Atau justru harus dipugar dan dibangun ulang, mulai dari fondasi terdalamnya: cara pandang atas manusia, alam, dan kehidupan?
Pemikiran alternatif sebenarnya telah bermunculan. Para pemikir pos-kapitalis menawarkan berbagai jalan baru. Namun sayangnya, sebagian besar tetap bergerak dalam bangunan lama. Arus besar kapitalisme global masih terlalu kuat, dan menyapu hampir semua bentuk perlawanan dan diferensiasi. Inilah yang justru mengkhawatirkan. Dunia butuh ekonomi baru yang bukan sekadar revisi kebijakan, melainkan transformasi paradigma.
Kondisi Indonesia: Saatnya Menentukan Ukuran Sendiri
Dalam konteks Indonesia, masalah ini menjadi lebih mendesak. Terus-menerus mengejar ukuran ekonomi global tak hanya melelahkan, tapi juga mustahil untuk dikejar. Persaingan global itu jelas omong kosong, karena start peserta yang berkompetisi berbeda.
Sisi lain, aturan dan ukuran-ukuran yang dibuat rezim global itu bukan hanya tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia, tetapi juga bersifat hegemonik. Mereka memaksakan standar tunggal yang tak memberi ruang bagi entitas lokal untuk tumbuh secara otonom.
Indonesia bukan hanya negara berkembang dalam statistik ekonomi. Ia adalah entitas kebudayaan yang unik, memiliki nilai, ukuran, dan relasi sosial yang tidak bisa begitu saja diseragamkan. Karena itu, pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari konteks kebudayaannya. Menyeragamkan semua hal atas nama kemajuan adalah bentuk kolonialisme gaya baru.
Maka arah ekonomi baru harus berangkat dari sini: penghormatan terhadap kebudayaan lokal, kedaulatan atas nilai dan ukuran, serta keberanian untuk menempuh jalur yang mungkin tak populer secara global, tapi relevan secara lokal.
Paradigma Baru: Kolaborasi Lintas Ilmu dan Keberanian Politik.
Ekonomi tidak bisa lagi berjalan sendiri dalam logika spesialisasi ekstrem. Ia harus terbuka, melibatkan antropologi, sosiologi, sejarah, budaya, bahkan etika. Di titik inilah ekonomi bertemu kembali dengan manusia dan kemanusiaan. Konstitusi kita pun memberi mandat agar kemerdekaan bangsa tidak hanya berarti lepas dari penjajahan politik, tetapi juga berdaulat dalam cara hidup dan berkehidupan. Apa artinya merdeka jika semua arah dan ukuran tetap ditentukan dari luar?
Langkah pertama adalah inisiasi gerakan kolektif menuju arah ekonomi baru. Bisa dari para ekonom progresif, tapi alangkah baiknya jika negara hadir sebagai inisiator utama. Memang tidak ada hasil instan. Tapi membangun arah baru selalu dimulai dari keberanian untuk memulainya.
Kini saatnya kita keluar dari situasi yang makin berat dan kompleks. Mungkin ini momentum untuk menemukan jalan baru. Bahwa ekonomi bukan soal pertumbuhan angka semata. Ia adalah seni mengelola kehidupan bersama secara adil, lestari, dan bermartabat. Untuk itu, kita tak butuh sekadar reformasi kebijakan, melainkan revolusi cara pandang.