silat 2

Cinta Berdarah di Tlatah Pandan Wangi

“Bluaaarr…. ”

Suara keras datang dari arah depan rumah Dewi Sulaya. Sebuah tendangan kuat menghantam pintu hingga lepas berhamburan. Satu daun pintunya terpelanting jatuh persis di samping Dewi Sulaya duduk. Perempuan cantik bermata bundar rembulan itu menjerit ketakutan. Wajahnya pucat pasi dengan kedua tangannya menutup telinga.

Seorang lelaki bertubuh tinggi besar masuk rumah membawa sebilah pedang yang masih dipenuhi bercak-bercak darah. Mukanya tampak murka. Ia berhenti sekitar satu depa dihadapan Dewi Sulaya yang masih menggigil ketakutan.

“Bangun… ” teriak lelaki itu dengan nada meninggi disertai tatapan mata nanar.

Pedang itu diarahkan ke dagu perempuan yang ujungnya menempel ke leher. Sedikit saja salah bergerak, kulit putih mulus itu akan berhias untaian darah segar.

Dewi Sulaya terpaksa bangkit dari duduknya mengikuti ujung pedang hingga posisinya berdiri berhadapan.

“Cintamu berdarah-darah, Dewi Sulaya. Kecantikanmu membawa petaka. Apa maumu?”

Mulut Dewi Sulaya masih terkatub. Pedang mengkilat yang masih bau anyir darah itu membuat Dewi Sulaya kesulitan bicara.

“Turunkan pedangmu, Kang Suta,” kata Dewi Sulaya terbata lantaran ujung pedang itu membuat wajahnya sedikit mendongak ke atas yang membuat tidak leluasa bicara.

Suta Aji nama laki-laki itu. Ia salah satu

prajurit terbaik Kratorn Sabrang Lor yang ditugasi menjaga keamanan Kadipaten Pandan Wangi yang terkenal biyang kerok kerusuhan. Saban hari hampir selalu ada kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Ditengarai banyaknya perguruan silat di wilayah ini jadi pemicunya.

“Akhirnya kamu datang, Kang Suta,” kata Dewi Sulaya ketika pedang itu diturunkan sedikit dari dagu Dewi Sulaya. Posisinya kini mengarah ke samping leher.

Nama Suta Aji cukup terkenal di Pandan Wangi. Selain sebagai prajurit terpilih Kraton Sabrang Lor, Suta Aji kesohor dengan pendekar pedang yang sangat mumpuni. Jika pedang sudah keluar dari sarungnya dan menyatu dalam genggaman tangannya hampir bisa dipastikan ada korban yang berdarah-darah.

Hampir semua orang Pandan Wangi mengenal nama Suta Aji. Termasuk Dewi Sulaya. Pertemuannya dengan pendekar pedang itu berlangsung tak sengaja. Kejadiannya ketika Rinja Brada, salah satu pendekar perguruan silat Pusaka Sakti murka dirumahnya gara-gara pinangannya pada Dewi Sulaya di tolak orangtuanya. Kalimat penolakan itu rupanya telah menyinggung harga diri Rinda Braja yang berujung amukan tak terkendali. Seluruh keluarga Dewi Sulaya mati mengerikan oleh keris sakti Mantra Jatra milik Rinja Brada. Sementara Dewi Salaya selamat karena sempat lari sekencang-kencangnya menuju Pendopo Demang Jayarupa yang tak jauh dari rumahnya.

Kebetulan di Pendopo Demang ada Suta Aji bersama anak buahnya yang sedang bertamu membicarakan keamanan wilayah Pandan Wangi. Begitu melihat Dewi Salaya datang tergopoh dengan wajah pucat sambil teriak minta tolong. Semua yang ada di di Pendopo bangkit berdiri.

Dewi Sulaya dengan terbata dan terengah-engah menceritakan jika Rinja Brada ngamuk dirumahnya dan sedang menghabisi keluarganya. Mendengar nama Rinja Brada di sebut, sontak Suta Aji berlarian menuju kudanya dan bergegas ke rumah Dewi Sulaya. Kebetulan Rinja Brada adalah seorang pendekar silat brangasan yang sedang diburu prajurit Kraton karena catatan kejahatannya.

Dewi Sulaya bersama Demang Jayarupa di iringi dua orang anak buahnya menyusul Suta Aji beberapa waktu kemudian. Sampai depan rumah Dewi Sulaya, suasananya tampak sepi. Di halaman hanya tampak kuda Suta Aji yang ditali di sebuah pohon.

Begitu mencoba memasuki rumahnya, Dewi Sulaya kembali menjerit sejadi-jadinya. Dilihat kedua orang tua dan adiknya sudah tergeletak bersimbah darah tak bernyawa. Badan dan mukanya tak lagi berbentuk oleh sabetan keris sakti Mantra Jatra. Terlihat Demang Jayarupa mencoba menenangkan Dewi Sulaya yang menangis histeris meratapi kematian keluarganya.

Sementara itu di ruang tengah rumah Dewi Sulaya, pendekar Rinja Braja juga tergeletak bersimbah darah disekujur tubuhnya. Tampak Suta Aji berdiri didepannya dan mengarahkan ujung pedangnya ke dada pentolan Padepokan Pusaka Sakti yang menanti detik-detik kematiannya yang cukup mengenaskan. Pedang Suta Aji telah merobek-robek tubuh Rinja Braja hingga darah segar mengucur memenuhi lantai.

Dewi Sulaya berlari menuju Suta Aji setelah melihat Rinja Branda tergeletak tak bergerak. Ia bersimpuh di kaki Suta Aji dan memohon perlindungannya. Sambil menangis meronta, Dewi Sulaya juga memohon perkenan pada Suta Aji agar mempersunting dirinya menjadi Istrinya. Dunia di mata Dewi Sulaya sangat mengerikan dan menakutkan.

Namun sayang, permohonan perempuan cantik jelita yang jadi incaran pemuda Pandan Wangi itu ditampik Suta Aji dengan halus. Pendekar pedang sakti itu sudah terikat sumpahnya. Suta Aji bersumpah tak akan menikah sebelum Negeri Sabrang Lor dan Sabrang Kidul bersatu.

Maka sejak saat itu Dewi Sulaya hidup seorang diri. Tak ada lagi orang yang menemani dan melindunginya. Kehidupannya makin sunyi dan sepi. Sementara dengan keadaannya itu para kumbang makin berani berdatangan. Mereka silih berganti bertamu ke rumah Dewi Sulaya. Sebagian mereka pingin mempersunting Dewi Salaya. Sebagian lain hanya sekedar ingin menikmati kecantikannya.

Sementara itu hati Dewi Sulaya terlanjur beku. Sejak permohonannya pada Suta Aji ditolak, tak ada satupun laki-laki yang sanggup membuka hatinya sesudah itu. Untuk menghindari keriuhan orang datang dirumahnya, Dewi Sulaya akhirnya membuat sayembara. Hanya pendekar terbaik dan tak terkalahkan yang berhak menginjak rumahnya dan mendapatkannya.

Sejak itu tak ada lagi lelaki yang datang padanya. Mereka yang ingin mempersunting perumpuan jelita bermata indah dengan rambut panjang berwarna pirang itu harus membuktikan tak ada lagi pendekar manapun yang bisa mengalahkannya. Kejadian itu akhirnya menimbulkan huru hara di Tlatah Pandan Wangi. Korban terus berjatuhan karena ternyata banyak pendekar yang mengincar Dewi Sulaya sebagai istri. Mereka harus adu kedigdayaan sebelum menjamah rumah dan mendapatkannya.

Dari waktu ke waktu situasinya makin brutal. Satu demi satu nyawa pendekar silat melayang. Sementara terbunuhnya satu pendekar berbuntut panjang lantaran memicu dendam kawan-kawan seperguruan. Akhirnya ajang kekerasan dan saling bunuh menjadi rangkaian tak terhindarkan. Hal itu yang membuat Suta Aji murka. Sebagai prajurit penjaga keamanan Pandan Wangi ia merasa turut bertanggung jawab. Ia mencoba menghentikan sayembara Dewi Sulaya yang jalannya makin liar.

Niat baik Suta Aji untuk menghentikan kekacauan ternyata tak mudah. Rumor berkembang jika langkah Suta Aji menghentikan sayembara hanya langkah licik untuk mendapatkan Dewi Sulaya. Fitnah itu membuat sejumlah pendekar murka hingga mendatangi Suta Aji untuk memaksa adu kesaktian. Maksud hati mengentikan pertumpahan darah, apa daya pedang Suta Aji malah memakan korban jiwa.

Untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak, akhirnya Suta Aji mendatangi Dewi Sulaya. Prajurit Sabrang Lor itu menganggap biang kekacauan itu adalah sayembara Dewi Sulaya untuk mendapatkan pendekar terbaik.

“Kamu salah Dewi Salaya. Aku ke sini bukan untuk mendapatkanmu. Kedatanganku untuk memintamu menghentikan sayembaramu atau pedang ini akan berlanjut memotong lehermu” kata Suta Aji dengan muka yang masih memerah.

Dewi Salaya terdiam. Ia mencoba berusaha untuk tenang dan mengendalikan ketakutannya.

“Turunkan pedangmu, Kang. Aku akan jawab semua pertanyaanmu sekarang juga”

Suta Aji menarik nafas dalam-dalam dan menurunkan pedangnya perlahan-lahan. Ia berusaha menahan diri menanti jawaban yang keluar dari mulut Dewi Sulaya.

Begitu pucuk pedang itu telah menyentuh tanah, Dewi Sulaya menundukkan kepala sambil bersimpuh menapakkan kedua lututnya di lantai dengan posisi pasrah.

“Maafkan aku, Kang Suta. Keriuhan itu pasti akan terjadi dan itu bukan urusanku. Aku hanya ingin mencari pendamping terbaik yang bisa melindungiku”

“Kamu sengaja? Dasar Iblis kamu!” teriak Suta Aji seperti tak sambar mengayunkan pedangnya.

“Kamu yang berhati iblis, Kang” sahut Dewi Suqlaya cepat-cepat.

“”Aku?”

“Ya, kamu”

“Apa salahku?’

“Kamu biarkan seorang perempuan sendirian tak berdaya yang ditinggal mati seluruh keluarganya dengan cara hina di depan matamu.” kata Dewi Sulaya sambil memandang wajah Suta Aji.

“Kamu tahu, Kang. Setiap hari aku harus bertemu para lelaki tak punya hati. Aku tak bisa menolaknya. Mereka menganggapku seperti perempuan murahan tak bermartabat. Apa arti seorang ksatria membiarkan perempuan seperti itu Kang?”

Mendengar jawaban Dewi Salaya, Suta Aji urung mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba jiwanya terusik.

“Tapi kamu tidak harus membuat sayembara yang menimbulkan korban berjatuhan”

“Jalan apa lagi yang harus kutempuh Kang, perempuan lemah sepertiku tak lagi punya sandaran.”

“Segera kamu pilih lelaki mana yang kamu cintai agar tak ada lagi korban berjatuhan”

Mendengar perkataan Suta Aji, kembali wajah Dewi Sulaya mendongak ke atas, ke arah lelaki yang berdiri didepannya.

“Aku telah memilihmu. Tapi kamu tak sudi menerimaku. Sekarang kamu memintaku memilih lelaki lain yang kucintai. Tak kukira kamu sama saja seperti mereka, Kang. Tak punya hati. Begitu rendah kamu memberi arti cinta”

Tiba-tiba hati Suta Aji luluh. Pikirannya kini berkecamuk. Di satu sisi dari hati kecilnya yang paling dalam ia sangat mencintai gadis jelita itu. Apalagi kecantikan Dewi Sulaya tak ada bandingnya di Pandan Wangi. Di sisi lain ia terikat dengan sumpahnya. Sebagai Ksatria ia pantang menarik sumpahnya. Karena posisinya itu ia kini kebingungan menempatkan diri. Suta Aji juga tak tega melihat derita perempuan didepannya yang kini hidup sebatang kara.

Dewi Sulaya kemudian menarik bilah pedang Suta Aji, dan meletakkan dileharnya.

“Potong leherku, Kang. Kematian lebih baik bagiku, biar semua kekisruhan segera berakhir. Aku rela mati dengan pedangmu.qq Lakukanlah. Jangan buang waktumu”

Dewi Sulaya memejamkan matanya, berharap Suta Aji segera membunuh dengan pedang saktinya.

Suasana menjadi hening. Setelah beberapa waktu berlalu, pedang di leher Sulaya tak bergerak sedikutpun. Dewi Sulaya perlahan membuka matanya. Di tatapnya wajah lelaki yang masih berdiri didepannya.

“Kenapa pedangmu tak bergerak Kang Suta? Aku sudah pasrah dan rela. Kecantikanku telah menjadi kutukan buat negeri ini. Aku menderita karenanya. Sudahilah semua ini. Bebaskan aku dari penderitaan ini Aku mohon kepadamu”

Kembali Dewi Sulaya menutup matanya. Kedua tangannya kemudian menggenggam pedang Suta Aji yang mengkilat tajam itu ketika ditunggu beberapa waktu tak juga bergerak dilehernya. Cengkeraman kuat itu membuat pedang Suta Aji mengiris tangan Dewi Sulaya yang putih.bening hingga darah segar mulai menetes.

Hati Suta Aji tak lagi kuasa. Pedang itu diletakkan perlahan ke tanah. Tangan Prajurit Sabrang Lor itu menggenggam tangan Dewi Sulaya dan melepaskan perlahan dari pedangnya. Kedua tangan itu kemudian diletakkan ke pipinya hingga wajah Suta Aji berhias darah.

“Maafkan aku, Dewi Sulaya. Pedang ini tidak untuk melukai perempuan. Pedang itu juga memiliki hati. Aku telah melakukan kesalahan besar”

“Mengapa minta maaf Kang, kamu jangan merasa bersalah. Kalau ini dharmamu sebagai prajurit, lakukanlah”

Suta aji menggelengkan kepalanya. Wajah penyesalan terlihat dari raut mukanya. Tangan Suta Aji kemudian memegang bahu ยน Dewi Sulaya untuk berdiri.

“Sekarang apa maumu Dewi Sulaya?” kata Dewi Sulaya ketika keduanya sama-sama berdiri berhadapan.

Dewi Sulaya menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya datar sama sekali tak bersinar.

“Katakan padaku Dewi Sulaya, apa maumu?” ulang Suta Aji pada Dewi Sulaya yang masih tampak diam.

“Pilihanku tak berubah, ambil aku jadi istrimu atau aku mati ditanganmu. Hanya itu”

Suta Aji menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba memahami perempuan yang kini pasrah tak berdaya dihadapannya.

“Sudah kubilang, aku terikat sumpahku, Dewi Sulaya”

“Aku paham, Kang. Kamu tak harus mengikuti mauku. Dan karena itu ajal lebih baik bagiku. Tak ada lagi kehidupan ini yang kuharapkam”

Suta Aji mencoba menenangkan Dewi Sulaya. Dihapusnya air mata perempuan cantik yang diliputi derita itu dengan ibu jari tangannya.

Terasa ada perasaan tenang di hati Dewi Sulaya ketika Suta Aji mencoba memperlakukan dirinya dengan lembut. Tapi perasaan itu coba ditepisnya, karena lelaki itu sudah tak mungkin dimilikinya.

“Duduklah sejenak. Aku selesaikan keramaian di luar.”

Suta Aji meninggalkan Dewi Sulaya sendirian setelah perempuan itu duduk tenang. Ia keluar rumah membawa pedangnya.

___________

Di depan rumah Dewi Sulaya sudah ramai orang berkerumun. Tiga pendekar dari tiga perguruan silat sudah berdiri menanti Suta Aji keluar rumah. Masing-masing pendekar itu diantar beberapa pengikut yang mungkin anggota perguruan.

Sayembara Dewi Sulaya memang sudah berubah arah. Semula hanya mempertandingan kehebatan seorang pendekar menjadi adu gengsi perguruan silat. Kematian salah satu pendekar silat seperti membakar gengsi perguruan.

“Hari ini, Dewi Sulaya telah jadi milik Suta Aji” kata pendekar pedang itu begitu keluar dari pintu rumah.

Suara keras Prajurit Sabrang Lor itu seperti menggelegar memecah suasana. Pedang saktinya secara secara terbuka dikeluarkan dari sarungnya dan diangkat lurus ke samping sebagai kesiapan untuk bertarung.

“Kalian semua yang masih menginginkan Dewi Sulaya, silahkan maju ke dapan,” sambung Suta Aji dengan suara lantang seorang prajurit.

Dua dari tiga pendekar perguruan silat rupanya gentar melihat Suta Aji mulai menantang untuk bertarung. Pedang sakti itu sudah terbukti tak terkalahkan. Hanya Raka Dirja, pendekar Bangau Merah yang berani mencoba menerima tantangan. Dengan senjata tombak berukir kepala burung itu Pendekar Raka maju menuju Suta Aji. Perkelahian pun terjadi.

Suta Aji bergerak cepat mengayunkan pedangnya mengincar leher Raka. Tangkisan demi tangkisanpun tak terelakan. Kecepatan tangan Suta Aji dalam memainkan pedang seperti tak memberi kesempat Raka Dirja menyerang balik. Ia terus melangkah mundur sambil bertahan dari serang Suta Aji yang bertubi-tubi. Semua pasang mata yang menyaksikan pertarungan dibuat decak kagum oleh kelincahan Suta Aji dalam memainkan pedang. Raka Dirja sedikitpun tak diberi kesempatan menyerang hingga 10 langkah kebelakang.

Waktu terus berjalan. Pertarungan masih berlangsung dengan sengit. Baju Raka Dirja sudah terlihat robek di sana sini. Sebagian bahkan sudah lepas dari badannya. Kecepatan gerak pedang Suta makin tak bisa dihindari dengan tangkisan tombak Raka Dirja. Badan pendekar Bangau Merah itu mulai tersayat-sayat hingga cipratan darah segar mulai terlihat disekujur badannya. Sampai kemudian di bawah Pohon Asam yang besar itu tongkat Raka Dirja terbelah dua dan ujung pedang Suta Aji berhenti persis di dadanya.

“Masih ingin melawanku?” tanya Suta Aji yang sudah tak berdaya dan kehabisan nafas.

“Aku menyerah, Suta. Ambil Dewi Sulaya. Ia pantas jadi milikmu” kata Raka Dirja mengakui kehebatan Suta Aji.

Begitu Raka Dirja menyerah tak berdaya, Suta Aji membalikkan badannya. Ia mengacungkan pedang yang penuh bercak darah itu lurus ke arah samping.

“Siapa lagi yang menginginkan Dewi Sulaya silahkan maju” kata Suta Aji lantang kepada kerumunan yang mulai berdiri berjauhan.

Semua orang yang berkurumun pada diam. Suasana hening. Mereka ngeri melihat cara bertarung Suta Aji yang begitu cepat dan mematikan. Tak ada lagi pendekar yang berani menerima tantangan Suta Aji. Mereka satu persatu meninggalkan tempat hingga halaman rumah Dewi Sulaya kembali sepi.

Suta Aji kemudian melangkah masuk ke rumah setelah suasana benar-benar aman. Tapi baru sedepa sebelum sampai pintu, Dewi Sulaya berlarian dari dalam rumah dan memeluk Suta Aji.

“Aku mendengar perkataanmu, Kang. Aku akan jadi milikmu, kan?” kata Dewi Sulaya bahagia sambil mendekap erat tubuh Suta Aji.

“Jalan masih panjang, Dewi Sulaya” kata Suta Aji perlahan setelah Dewi Sulaya melepas pelukannya.

“Aku tak peduli, Kang. Kata-katamu membuat hidupku kembali terang”

Di tengah kebahagiaan yang dirasakan Dewi Sulaya, terdengar suara derap kuda berjalan menuju mereka berdua. Serombongan pasukan Kraton Sabrang Lor dengan seragan lengkap beserta senjatanya menuju halaman rumah Dewi Sulaya. Sadana, komandan prajurit itu turun dari kudanya persis di depan Suta Aji dan Dewi Sulaya berdiri.

“Maaf, Suta Aji. Saya menjalankan tugas dari Kraton, untuk menyerahkan surat ini kepadamu. Terimalah. Silahkan baca sebelum saya pergi,” kata Sadana sambil menyerahkan surat resmi.

“Terima kasih, Sadana. Salam buat tuan raja. Saya pasti akan menghadap ke Kraton Lusa” kata Suta Aji setelah membaca surat resmi Kraton dengan penuh seksama.

Suta Aji dan Dewi Sulaya kemudian masuk rumah setelah rombongan istana pergi kembali menuju Kraton Sabrang Lor.

____________

“Apa isi surat itu, Kang Suta?” tanya Dewi Sulaya setelah mereka duduk santai di dalam rumah”

Suta Aji tersenyum melihat Dewi Sulaya terlihat penasaran.

“Kamu tersenyum, Kang? Kamu manusia yang jarang tersenyum. Duniamu selalu serius. Ada kebahagiaan apa dengan surat itu?”

“Raja meminta kita segera menikah dan sebaiknya meninggalkan tempat ini”

Dewi Sulaya menggelengkan kepalanya seraya tak percaya.

“Itu muskil. Kang Suta bohong…”

Kembali Suta Aji tersenyum. Ia melihat raut bahagia Dewi Sulaya di balik ungkapan tak percayanya.

“Baiklah, aku jujur padamu.”

“Katakanlah, Kang. Jangan bikin aku penasaran”

“Raja telah memecatku…”

“Hah….”

“Aku dinilai gagal pegang kendali keamanan Pandan Wangi. Mulai besok sudah ada penggantiku”

“Karena akukah, Kang Suta dipecat?”

“Bukan karena kamu, Pandan Wangi memang tak mudah diatur, siapapun penjaga keamanan di sini pasti hadapi kesulitan”

“Trus, apa maksudnya kita di suruh Raja segera menikah? Bagaimana dengan sumpahmu?”

“Dewi Sulaya,” kata Suta Aji mencoba menerangkan pelan-pelan, “..aku menjadi prajurit karena dipanggil pihak kraton. Aku tidak melamar. Kalau hari ini tugasku dicukupkan, ya aku terima. Semua kulakukan atas nama cintaku pada negeri ini”

“Trus apa hubungannya dengan pernikahan?”

“Sumpahku itu terkait tugasku sebagai prajurit. Jika aku tak lagi prajurit, aku terbebas dari sumpahku”

“Itu artinya?”

“Itu artinya Raja memberiku jalan menikahimu. Paham?”

4 thoughts on “Cinta Berdarah

Tinggalkan Balasan ke Kaden4956 Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *