Cinta, Memberi dan Fromm

Cinta, Memberi dan Fromm
Manusia umumnya mengisi ruang jiwanya hanya dengan dirinya sendiri—alias egonya. Tak ada tempat bagi orang lain. Ia bergaul bukan untuk memperluas ruang jiwanya dan menampung banyak manusia di dalam dirinya, melainkan untuk memperbesar kepentingan dan keinginan ego semata.
Sebagian manusia menganggap bahwa menyediakan tempat yang luas bagi “diri” adalah bentuk eksistensi. Aku adalah diriku, adalah egoku. Kemerdekaan, bagi mereka, adalah merealisasikan keinginan dirinya sendiri. Itulah makna individualisme.
Namun sebagian orang lainnya menilai bahwa individualisme adalah bentuk eksistensi yang semu. Manusia tak bisa hidup dalam kesendirian. Sendiri itu sunyi. Sendiri adalah keterasingan. Sebab setiap manusia membutuhkan sesamanya untuk memperluas dirinya. Ada makna dalam kebersamaan yang hangat—dalam saling memberi dan saling membutuhkan. Ada dorongan dari dalam diri manusia untuk mencari dan menemukan ikatan-ikatan makna dengan sesamanya.
Itulah kira-kira pandangan Erich Fromm tentang manusia dan kemanusiaan. Menurut Fromm, manusia telah terasing dari dirinya sendiri dan dari alam. Untuk menjawab keterasingan itu, manusia modern cenderung memenuhi dirinya dengan aneka asesoris materi. Ia berlomba mengejar sebanyak dan sesempurna mungkin barang-barang impian demi membangun eksistensi yang kokoh.
Manusia, terutama manusia modern, terlalu didikte oleh faktor-faktor eksternal—oleh cita rasa gaya hidup yang diciptakan para produsen barang dagangan. Konsumerisme menjadi budaya sekaligus detak nadi peradaban. Namun hiasan kepemilikan (to have), seberapa banyak, canggih, atau mahal pun, hanyalah fatamorgana. Pada posisi itu manusia hanya bisa berhenti pada tahap “memiliki”—tak lebih. Secara fisik semuanya bisa terpenuhi, tapi secara batin tetap kerontang. Manusia modern menjadi seperti rumah besar yang megah, namun kosong dan suwung.
Padahal, manusia memiliki kekuatan dari dalam diri yang mendorongnya keluar untuk meraih kehidupan yang bermakna. Manusia mengejar kepuasan bukan dengan menimbun materi, melainkan melalui kerja, kreasi, interaksi, saling memberi dan saling membutuhkan. Manusia justru mekar dari dalam ketika ia tenggelam secara aktif dalam hubungan dengan sesama, dalam suasana cinta. Pada posisi ini, manusia tidak lagi sekadar mengambil dan mendapatkan, tetapi memberi dan berbagi. Memberi bukanlah kehilangan. Memberi adalah bentuk insentif untuk memperoleh kebahagiaan yang lebih dalam.
Oleh Fromm, gerak kekuatan dari dalam ini disebut sebagai menjadi (to be). Jiwa manusia mekar, produktif, dan tumbuh dalam cinta dan kebersamaan yang berkualitas. Menjadi adalah bentuk individu yang tercerahkan, yang larut secara eksistensial dalam pergaulan sosial. Individu dan komunitas saling bersinergi dan saling menguatkan. Identitas individu dibangun bukan dari apa dan seberapa besar kepemilikannya, tetapi dari kepuasan dalam berbuat, berkarya, dan memberi makna bagi sesama. Eksistensi manusia justru hadir melalui tindakan memberi, mempersembahkan
syxw2i