unnamed (24)

Daya Tahan Budaya  dan Budaya Tanding 

Malam itu saya berdiskusi santai dan mengalir di sebuah dusun yang cukup pelosok. Ada belasan orang, sebagian besar sudah lanjut usia. Kami duduk melingkar di teras salah satu rumah warga, menikmati kopi dan panganan sederhana. Tak ada acara khusus. Teras itu memang kerap menjadi tempat berkumpul warga yang sedang luang dan ingin bersosialisasi.

Obrolan malam itu cukup menarik. Topiknya seputar dolanan anak-anak masa silam—mainan tradisional yang penuh kenangan. Warga saling bersahutan menyebut nama dan jenis permainan zaman dulu. Derai tawa tak henti terdengar saat mereka menceritakan kembali pengalaman-pengalaman lucu masa kecil. Beberapa bahkan memperagakan ulang permainan itu seperti sedang beraksi dalam pantomim. Suasana menjadi riuh, penuh gelak tawa, saat orang-orang tua menirukan gaya bocah-bocah zaman dulu.

Suasana sedikit meredup ketika saya bertanya, “Apakah dolanan yang kalian sebutkan tadi masih ada sekarang?” Hampir serempak mereka menjawab, “Sudah tidak ada. Bahkan satu pun tak tersisa.” Menurut warga, hilangnya dolanan anak-anak itu bermula sejak masuknya televisi dan listrik ke desa.

Terlepas dari pandangan warga soal dolanan anak, pesan penting yang bisa ditarik dari malam itu adalah: ada produk budaya yang usianya mungkin sudah puluhan bahkan ratusan tahun, bisa lenyap begitu saja akibat perubahan zaman. Anak-anak masa kini mungkin bahkan tak mengenalnya sama sekali.

Nasib punahnya dolanan anak-anak ini tidak mustahil juga menimpa bentuk-bentuk budaya lain dalam masyarakat—seperti kehidupan gotong royong, suasana keguyuban, hingga aneka upacara atau kesenian tradisional. Banyak tradisi yang kini hampir tak dikenali lagi. Dan kalau pun masih ada yang tersisa, nasibnya sudah jalan tertatih.

Banyak orang menerima lunturnya tradisi sebagai keniscayaan perkembangan zaman. Padahal, tradisi adalah sejarah dan ekosistem budaya yang menjadi akar kehidupan suatu masyarakat. Manusia tidak mungkin benar-benar lepas dari sejarah dan kebudayaannya. Hilangnya dolanan anak hanyalah satu representasi dari sejarah budaya yang terpotong dari kehidupan hari ini.

Sementara itu, laju zaman baru bukanlah sesuatu yang datang secara netral, spontan, atau bebas nilai. Zaman baru lahir dari ekspansi sejarah dan budaya lain—yang tampil progresif, dominan, dan sering kali mendikte seluruh tatanan sosial yang dilewatinya.

Pertanyaannya, apakah kita rela hanyut dalam arus zaman baru dan kehilangan jati diri? Atau, kita memilih bertahan dan tetap menjadi diri sendiri? Ini adalah soal pilihan. Kekhawatiran banyak pihak terhadap pengaruh budaya luar, serta dorongan untuk kembali pada jati diri bangsa, sesungguhnya adalah bentuk keinginan untuk tetap menjadi diri sendiri.

Namun, menjadi diri sendiri bukanlah perkara mudah. Itu menuntut kesadaran sejarah yang kuat, daya tahan atas budaya sendiri, serta kemampuan melakukan penyesuaian kreatif terhadap dinamika zaman. Memilih menjadi diri sendiri berarti berani menyatakan eksistensi yang berpijak pada akar sejarah dan budaya sendiri.

Dalam posisi ini, keberanian membangun budaya tanding (counter culture) menjadi pilihan yang tak terelakkan. Budaya tanding bukan berarti bersikap antipati terhadap budaya luar, melainkan keberanian menciptakan proses kreatif budaya yang berdiri di atas pijakan sendiri. Counter culture adalah aksi untuk mengaktualisasikan modal sejarah budaya dalam kehidupan hari ini, sehingga kita bisa tampil dengan percaya diri dan penuh kebanggaan.

(November 2021)