Korupsi: Dancok, Asu, Bajingan

0
1754954206910

Korupsi, Dancuk, Asu, Bajingan

Bahasa Indonesia itu terbatas kosakata. Ia tak selalu mampu menangkap berbagai peristiwa, gejala, atau dinamika dengan sudut pandang yang tepat. Bahasa Indonesia acap kali kurang memiliki akurasi makna dan sering tak mampu membaca gradasi peristiwa. Tidak seperti Bahasa Jawa, misalnya, yang amat kaya dalam penamaan dan penggambaran berbagai peristiwa.

Bahasa Jawa untuk menerangkan bau-bauan bisa begitu detail dan khas. Orang Jawa dapat langsung menghubungkan bau dengan berbagai peristiwa. Misalnya: prengus, bacin, badeg, pèsing, dan sebagainya. Sementara dalam Bahasa Indonesia, semua itu hanya disebut “bau”.

Pun soal mencuri. Bahasa Indonesia tidak cukup memiliki kosakata yang memuat makna bernilai sama, misalnya “mencuri”. Dalam Bahasa Jawa, ada ngutil, ngenthit, nyopet, maling, rampok, nggarong. Semua artinya sama: mencuri! Bedanya terletak pada cara dan gradasi jumlah curian. Ngenthit dan ngutil adalah maling kelas teri—jumlahnya sedikit dan tak memerlukan keterampilan tinggi. Beda dengan copet atau maling biasa. Lain lagi dengan rampok dan garong.

Namun baik Bahasa Jawa maupun Bahasa Indonesia sama-sama tak memiliki penjelas makna yang presisi untuk pencuri satu ini: korupsi! Dalam Bahasa Indonesia tetap saja disebut mencuri. Sementara Bahasa Jawa agak gagap, karena korupsi tergolong jenis pencurian baru. Jika dalam Bahasa Jawa puncak-puncaknya pencuri hanya sampai garong atau begal, itu pun jumlahnya masih terbatas.

Bahasa Jawa gagal menangkap istilah mencuri yang setara dengan makna korupsi. Tak ada, dan mungkin tak pernah terbayang oleh masyarakat Jawa sejak dulu kala bahwa akan ada orang mencuri milik jutaan orang sekaligus—mencuri barang milik orang sekampung, bahkan senegara. Yang dicuri bisa berupa uang, jalan, jembatan, hutan, minyak, pulau. Bahkan yang dicuri bisa berupa kesempatan, kebahagiaan, dan masa depan. Jumlah uang yang diambil sedemikian besar, sehingga bukan saja cukup untuk memberi makan seluruh warga, sisanya bisa dipakai untuk naik haji, dan sisanya lagi untuk membuat kolam renang yang dapat menampung semua warga bersuka ria.

Sekali lagi, kosakata Bahasa Jawa yang canggih dan presisi itu tak kuasa menanggung makna korupsi. Mungkin dalam atmosfer masyarakat Jawa tak pernah ada, atau tak terbayang, manusia seculas dan seserakah itu. Keserakahan koruptor melampaui batas kejahatan manusia hingga tak ada kata yang bisa mewakilinya. Ada budayawan yang mencoba memaksakan padanan dengan istilah “Mbahnya maling”. Namun kosakata ini pun terasa belum cukup. Dari sisi jumlah, mbahnya maling saja belum memadai. Mungkin buyutnya buyut. Tapi rasanya, itu pun masih kurang.

Karena tak ada lagi nama atau gradasi yang tepat untuk menggambarkan dahsyatnya korupsi, sebagian orang kecil Jawa akhirnya cukup menyebut:

“Dancuk, Asu, Bajingaaan…”

Korupsi dan koruptor memang Dancuk, Asu, Bajingan! Semoga kata-kata ini menjadi doa keterberdayaan yang akan menembus dinding langit.

Des, 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *