Logika Keyakinan

Logika Keyakinan & Cita-Cita
Pernah aku ditertawakan dan dicibir karena sikap serta pilihan perjuangan politikku. Mungkin, bagi sebagian orang, sikap dan perhitunganku dianggap tidak rasional. Bahasa kerennya: tidak saintifik, karena tidak berbasis data survei. Atau, dalam bahasa yang lebih sederhana: aku ini naif—untuk tidak mengatakan, “nggak pakai otak.”
Tapi memang benar. Pilihan politikku kalah dalam kontestasi. Begitulah faktanya. Namun aku tak menyesal. Sedikit pun tidak.
Andaikan ada kesempatan lagi—dan jika menurutku masih ada sesuatu yang pantas diperjuangkan—aku akan mengulanginya. Dan akan terus mengulanginya, betapapun analisis di atas kertas menunjukkan peluangnya kecil, atau bahkan mustahil.
Berjuang bukan soal berhitung atas kemungkinan. Bukan pula semata-mata soal peluang menang. Berjuang adalah membela keyakinan dan cita-cita, yang tentu punya ukurannya sendiri. Di sanalah letak logika perjuangan.
Sama halnya dengan mengapa para pendiri bangsa kala itu memilih jalan yang—secara hitungan rasional—terlihat tak masuk akal. Dengan segala keterbatasan, di tengah mayoritas rakyat yang miskin dan buta huruf, mereka justru memilih jalan yang tampak mustahil: bermimpi merdeka dan berkehendak membangun negara republik.
Jika saat itu rakyat disurvei, besar kemungkinan kemerdekaan dan pendirian negara republik bukanlah pilihan yang rasional. Para pejuang itu mungkin menjadi bahan canda dan cibiran pada zamannya.
Namun begitulah: keyakinan dan cita-cita punya logika dan jalannya sendiri. Dari keyakinan itulah, Indonesia akhirnya merdeka, dan NKRI berdiri.
Juli 2022