1754711638616

Pembangunan dengan Hati

Pembangunan kerap hanya menonjolkan unsur-unsur kasat mata. Gedung-gedung tinggi, jalan yang mulus, jembatan yang kokoh, atau angka pertumbuhan ekonomi yang naik setiap tahun sering dijadikan tolok ukur keberhasilan. Pendekatan yang digunakan pun umumnya bersifat manajerial yang mekanistis: ada target, ada timeline, ada indikator terukur. Ukuran keberhasilan cenderung materialistik, dihitung dalam statistik dan laporan-laporan formal yang rapi.

Pembangunan seperti ini bukanlah sebuah kekeliruan. Infrastruktur fisik, peningkatan ekonomi, dan pencapaian target memang penting dan perlu. Namun, jika pembangunan dilakukan hanya sebatas itu, ia tak akan menyentuh inti terdalam dari pembangunan itu sendiri: dimensi keutuhan manusia.

Dimensi keutuhan manusia meliputi unsur fisik dan nonfisik. Unsur fisik mencakup kebutuhan yang terlihat dan terukur, seperti kesehatan, pendidikan, dan akses terhadap fasilitas umum. Sedangkan unsur nonfisik meliputi nilai-nilai, rasa memiliki, kebahagiaan, dan makna hidup. Kehilangan salah satunya akan membuat hasil pembangunan timpang.

Salah satu unsur nonfisik yang kerap terabaikan adalah hati. Hati di sini bukan sekadar pusat perasaan, melainkan tempat manusia membangun makna dan menambatkan harapan. Hati adalah ruang batin di mana warga merasakan apakah pembangunan yang terjadi benar-benar berpihak kepada mereka atau sekadar menjadi proyek di atas kertas.

Pada hakikatnya, pembangunan adalah proses memberi makna. Jalan yang dibangun bukan hanya untuk mempercepat perjalanan, tetapi juga untuk mendekatkan silaturahmi. Pasar yang diperbaiki bukan hanya untuk memperlancar perdagangan, tetapi juga untuk menghidupkan interaksi sosial. Sekolah yang dibangun bukan sekadar menambah jumlah ruang kelas, tetapi untuk menumbuhkan generasi yang berkarakter.

Karena itu, sebelum agenda program pembangunan dijalankan, langkah pertama yang penting adalah merebut hati rakyat. Merebut hati bukan berarti mencari popularitas semata, tetapi membangun rasa percaya, menghormati aspirasi, dan menempatkan warga sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan. Jika hati rakyat berhasil diraih, setiap program akan mengalir alami, tanpa paksaan. Hasilnya pun akan sejalan dengan kehendak dan kebutuhan mereka.

Sayangnya, situasi hari ini menunjukkan bahwa hati rakyat sering kali belum menjadi bagian dari strategi dan pendekatan pembangunan. Banyak kebijakan yang dirancang dari ruang rapat tertutup, tanpa cukup mendengar suara warga. Akibatnya, pembangunan berjalan di atas rel yang berbeda dengan harapan rakyat. Warga merasa menjadi penonton dari sebuah pertunjukan besar yang seharusnya mereka perankan bersama.

Pembangunan dengan hati menuntut kesediaan untuk mendengar lebih banyak, berdialog lebih lama, dan melibatkan masyarakat sejak awal. Ia menuntut kesabaran, karena membangun hati tidak bisa dikejar dengan jadwal proyek. Tetapi justru di situlah letak keberlanjutan: hasil yang tumbuh dari hati akan bertahan lebih lama daripada sekadar hasil yang lahir dari proyek.

Pembangunan dengan hati adalah pembangunan yang menyatukan yang kasat mata dengan yang tak kasat mata; yang terukur dengan yang dirasakan; yang teknis dengan yang maknawi. Sebab pada akhirnya, keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari tingginya bangunan atau panjangnya jalan, tetapi dari seberapa dalam ia berakar di hati rakyatnya

7 thoughts on “Membangun Dengan Hati

Tinggalkan Balasan ke Leanne2448 Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *