1755123712873

Pati dan Luka Demokrasi

Di tanah Pati, demokrasi tengah terluka. Luka yang menganga bukan semata soal kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 250%. Luka itu lebih dalam, bersarang di hati warga Pati, ketika bupati yang mestinya menjadi pelayan rakyat justru tampil sebagai penguasa yang memamerkan arogansi.

Kenaikan pajak bisa dibicarakan. Angka bisa dinegosiasikan. Tapi bagaimana menawar kesombongan? Bagaimana menghitung kerugian akibat sikap semena-mena? Ketika bupati memilih menantang warga alih-alih merangkul, yang rusak bukan hanya hubungan, melainkan kepercayaan—modal paling berharga dalam demokrasi.

Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat. Bupati hanya memegang mandat, bukan mahkota. Ia duduk di kursi pemerintahan karena rakyatlah yang memberi tempat. Maka, begitu suara rakyat tak dianggap, mandat itu sesungguhnya retak. Rakyat bukan bawahan. Mereka pemegang kedaulatan. Suaranya bukan untuk diabaikan, apalagi ditantang.

Namun hari-hari ini, perilaku demokrasi makin jauh dari nilai yang diikrarkan. Banyak pejabat, baik daerah maupun pusat, masih berlaga seperti bangsawan feodal, merasa derajatnya di atas rakyat hanya karena mengenakan baju kekuasaan. Kritik dianggap gangguan. Aspirasi dianggap ancaman. Padahal, rakyat yang bersuara lantang justru sedang menjaga demokrasi tetap bernapas.

Pati hanyalah satu panggung dari drama nasional yang berulang. Di banyak tempat, pejabat lebih sibuk mempertahankan gengsi daripada mendengar keluhan warganya. Padahal, rakyat tidak meminta istana, hanya ingin diperlakukan dengan hormat.

Suara Pati hari ini adalah suara demokrasi yang sedang mencari bentuknya, suara yang lahir dari berbagai luka—dari sikap congkak penguasa, dari telinga yang memilih tuli, dari hati yang membatu. Jika luka-luka itu dibiarkan, demokrasi akan tinggal nama, sekadar bendera yang berkibar di halaman kantor pemerintahan, tanpa makna di hati rakyatnya.

Presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, —semua pejabat publik—mesti ingat: kekuasaan adalah titipan. Dan setiap titipan akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan semata di ruang sidang parlemen, bukan di gedung pengadilan, tetapi di hadapan rakyat yang suatu saat akan menagih janji dengan suara dan pilihan mereka.

Dari tanah Pati, rakyat menunggu sinyal, apakah luka demokrasi ini akan dirawat, atau dibiarkan membusuk.

6 thoughts on “Pati dan Luka Demokrasi

Tinggalkan Balasan ke Henrietta2249 Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *