1754532031803

Relevansi Kampus

Narasumber itu seorang akademisi lulusan sebuah kampus di Jerman. Gelarnya doktor. Bidang keilmuannya adalah kompleksitas. Namun, teknologi yang dibuatnya sama sekali tidak berkaitan dengan bidang studi yang ia geluti. Ia merancang dan membuat drone sendiri. Bukan sembarang drone, melainkan drone multifungsi yang digunakan untuk kepentingan penelitiannya.

Karena drone itu, ia dicari oleh sejumlah negara untuk proyek-proyek riset. Namun, cerita yang menarik bukan pada produk teknologinya yang multifungsi itu, melainkan pada cara ia berinisiatif membuat teknologi tersebut—yang konon lahir dari keterdesakan. Ia mulai membuat drone, katanya, dengan belajar dari kampus terbaik dunia dan gratis. Namanya: Google, YouTube, dan Artificial Intelligence.

Dari yang semula awam, akhirnya ia mampu menciptakan produk teknologi yang kini dicari banyak negara. Bahkan, ia sempat mendirikan sekolah drone pertama di dunia, yang terletak di pedalaman Kalimantan.

Apa yang ingin saya garis bawahi dalam tulisan ini adalah saat ia menyebut ‘kampus terbaik dunia’ yang gratis itu. Secara faktual, tiga “universitas” yang disebutnya benar-benar menyediakan apa yang dibutuhkan manusia saat ini. Kampus terbaik itu telah menyediakan hampir semua pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan manusia, secara cuma-cuma. Keberadaan kampus itu seperti jelmaan dari kumpulan lembaga dan manusia-manusia jenius di dunia yang dikumpulkan menjadi satu. Kata yang paling tepat: tak terlawankan.

Kampus terbaik dunia itu tak jauh dari kita. Bahkan amat dekat. Bisa dijangkau hanya dengan ujung jari—kapan pun, di mana pun. Karena itu, hari ini, tak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk bodoh dan tertinggal. Siapa pun bisa mengembangkan diri dalam berbagai bidang pengetahuan dan keterampilan. Akses terhadap ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi hegemoni lembaga pendidikan.

Persoalan utama di zaman ini adalah: apakah orang mau belajar atau tidak. Itu saja.

Lalu, di mana relevansi kampus?

Secara esensial, kampus nyaris kehilangan relevansinya—terutama jika tata kelolanya masih dijalankan secara konvensional. Apa istimewanya guru atau dosen, jika mereka hanya sekadar menjadi pemindah pengetahuan? Para pengajar itu, secerdas dan sejenius apa pun, mustahil mampu menandingi tiga kampus terbaik dunia yang serba gratis itu.

Satu-satunya keunggulan pendidikan konvensional saat ini hanyalah: ijazah.

Kampus konvensional perlahan akan ditinggalkan. Itu hanya soal waktu. Namun, kampus masih bisa bertahan dan tetap relevan jika segera melakukan adaptasi dan penyesuaian secara kreatif.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang perlu dilakukan:

Pertama, membangun mental pembelajar. Dalam zaman apa pun dan dalam situasi apa pun, pembelajar akan menjadi energi melakukan perubahan. Pembelajar selalu terdorong oleh rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencari jawaban. Itulah energi awal dari sebuah perubahan.

Kedua, menciptakan ekosistem belajar. Ini penting sebagai wahana untuk mempertemukan para pembelajar agar dapat saling berinteraksi, berbagi pikiran dan pengalaman. Sumber belajar bisa saja tersebar di mana-mana, tetapi ekosistem belajar sangat penting untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan menemukan solusi secara kolektif.

Ketiga, membangun ekosistem inovasi. Muara dari ekosistem belajar adalah karya inovatif. Mencipta harus menjadi tradisi dari keberlanjutan pengetahuan.

Inilah saatnya kampus tidak hanya menjadi tempat mengajar, tetapi ruang hidup yang menyalakan semangat belajar, mencipta, dan bertumbuh.

 

3 thoughts on “Relevansi Kampus

Tinggalkan Balasan ke Grace2887 Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *