membaca

Satu Saja Saran untuk Menteri Pendidikan: Ajari Siswa Memahami Bacaan

Jika hanya boleh memberi satu saran kepada Menteri Pendidikan yang baru, maka ini sarannya: ajari siswa agar memahami apa yang mereka baca. Itu saja. Hal lain bersifat sekunder. Kata kuncinya: paham.

Meski terdengar sederhana, tugas ini jauh dari mudah. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, telah mengupayakan berbagai langkah—dari merombak kurikulum, mengembangkan sistem asesmen, hingga meningkatkan kompetensi guru—semuanya dengan anggaran besar. Namun, hingga kini, sistem pendidikan nasional belum berhasil mengantarkan siswa untuk benar-benar memahami bacaan mereka.

Apakah Kementerian belum mengajarkan pemahaman bacaan? Tentu sudah. Kurikulum merdeka, pendekatan berbasis kompetensi, serta pelatihan guru telah dilakukan. Namun, realitanya, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Mutu pendidikan seolah stagnan, bahkan dalam beberapa aspek mengalami kemunduran.

Sebagai contoh, sejak tahun 2000, Indonesia mengikuti asesmen internasional PISA (Programme for International Student Assessment) yang diselenggarakan oleh OECD. Hingga asesmen terakhir pada 2022, posisi Indonesia masih berkutat di papan bawah. Selama lebih dari dua dekade, kemampuan literasi siswa Indonesia belum beranjak dari level satu dari enam level yang ada.

Di level ini, mayoritas siswa hanya mampu mengenali teks dan menyebutkan isi secara literal, tanpa benar-benar memahami makna, maksud, atau implikasinya. Mereka bisa membaca, tetapi tidak mengerti apa yang dibaca.

Ignas Kleden, sosiolog dan intelektual publik, pernah menyebut kondisi ini sebagai “buta huruf aksara”—yakni kemampuan membaca tanpa pemahaman. Sementara itu, Bank Dunia mengidentifikasi fenomena serupa dengan istilah learning poverty, yaitu ketidakmampuan memahami teks sederhana pada usia sepuluh tahun.

Berbagai temuan tersebut menyiratkan hal yang sama: sistem pendidikan kita telah gagal membekali generasi muda dengan kompetensi dasar yang sangat esensial, yaitu literasi dan numerasi. Ini bukan sekadar problem teknis, melainkan persoalan struktural dan kultural yang mendalam.

Kondisi ini juga mencerminkan ironi besar: kebodohan kolektif justru diproduksi secara sistemik di institusi yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bayangkan, satu generasi telah tumbuh dalam sistem yang menghasilkan kemampuan rendah dalam memahami bacaan dan memecahkan persoalan dasar. Generasi ini akan menghadapi dunia yang bergerak cepat, penuh tantangan dan disrupsi. Sulit berharap mereka mampu memimpin perubahan jika pondasi dasarnya rapuh.

Karena itu, sudah saatnya Kementerian Pendidikan kembali pada hal yang paling mendasar: prioritaskan penguatan kemampuan memahami bacaan dan menyelesaikan persoalan secara logis. Jangan tergoda mengejar banyak program tanpa fokus yang jelas. Satu fokus yang dilakukan secara mendalam dan berkelanjutan akan jauh lebih bermakna daripada berbagai program tambal sulam yang berganti tiap pergantian menteri.

Langkah awal yang bisa diambil adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi pembelajaran literasi dan numerasi di semua jenjang pendidikan. Temukan titik-titik lemahnya secara objektif, lalu rancang pendekatan baru yang lebih kontekstual dan terukur.

Jika mutu pendidikan diukur melalui standar internasional seperti PISA, maka parameter tersebut harus benar-benar menjadi acuan dalam kurikulum, metode pembelajaran, asesmen, hingga pelatihan guru. Keberhasilan tidak bisa lagi hanya diukur dari nilai ujian nasional atau kelulusan, tetapi dari kemampuan siswa memahami informasi dan menggunakannya secara kritis.

Memang, sejak mengikuti PISA, arah kebijakan pendidikan Indonesia mengarah ke sana. Perubahan kurikulum, peluncuran Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), serta penerapan pendekatan Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah bagian dari adaptasi terhadap standar global. Namun, jika hasilnya masih belum memuaskan, perlu dipertanyakan kembali: apakah strategi implementasinya tepat? Apakah guru benar-benar dipersiapkan? Apakah pembelajaran di kelas mencerminkan semangat yang diusung kurikulum?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab dengan jujur dan terbuka. Dan sebelum bergegas menjalankan program-program baru, Kementerian Pendidikan perlu kembali pada satu hal yang sangat mendasar: pastikan setiap anak paham apa yang ia baca.

Tanpa itu, semua akan sia-sia.