unnamed (39)

Korupsi dan Jenis Tuhan Baru

Mencuri adalah perbuatan tercela. Biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Jika tertangkap, pencuri umumnya menundukkan kepala atau menutup wajah. Itu pertanda bahwa mencuri adalah perbuatan aib dan memalukan.

Orang mencuri biasanya karena terpaksa. Mungkin mereka berada dalam kondisi sulit atau terdesak. Bisa juga karena kebodohan atau pikiran yang pendek.

Orang yang terpelajar semestinya tidak akan melakukan perbuatan memalukan semacam itu. Bekal pendidikan seharusnya membantu mereka membangun pengetahuan, kesadaran, kedewasaan, dan nilai-nilai moral. Itulah benteng pertahanan kaum terpelajar.

Namun, mungkin kita sedang hidup di zaman yang aneh. Pencurian kini tidak lagi dilakukan oleh mereka yang tersisih, terdesak, atau bodoh. Justru dilakukan oleh kaum terpelajar, terhormat, dan secara ekonomi berkecukupan. Harta yang dicuri bukan lagi milik satu atau dua orang, tetapi milik ribuan bahkan jutaan orang. Para pelakunya berasal dari kalangan akademisi, pengusaha, pejabat negara, bahkan pimpinan lembaga negara. Mereka, ironisnya, umumnya adalah kaum terdidik.

Pencurian ini punya label baru yang lebih modern. Namanya terdengar keren: korupsi. ‘Barang’ yang dicuri bukan milik pribadi, melainkan milik negara—milik rakyat seluruhnya.

Jenis pencurian ini hampir tak ada padanannya di masa lalu. Dulu kita mengenal istilah seperti ngutil, nyopet, maling, rampok, atau garong. Tapi level pencurian masa kini jauh melampaui itu semua.

Jika pencurian zaman dulu hanya menimpa satu atau dua orang, maka korban korupsi bisa satu desa, satu kota, bahkan satu negara. Dampaknya bukan hanya harta yang dijarah, tapi juga nasib banyak orang, kesempatan, fasilitas publik, dan berbagai hak yang seharusnya mereka nikmati—semuanya menguap entah ke mana.

Kemiskinan, stunting, pengangguran, putus sekolah, dan berbagai kesulitan hidup yang menimpa ribuan bahkan jutaan orang, tak selalu disebabkan oleh bencana alam atau nasib buruk. Sangat mungkin semua itu terjadi karena hak-hak mereka dirampas oleh perilaku korup.

Keanehan lain dari pencurian zaman sekarang adalah: para pelakunya tetap berdiri gagah dan mendongakkan kepala meski telah kepergok. Mereka tak menunduk, tak menutup wajah. Bahkan senyum mereka tetap merekah, masih sempat melambaikan tangan seolah-olah mereka adalah bintang pujaan di hadapan penggemar.

Entah apa arti nilai, pengetahuan, dan segala keterdidikan bagi mereka, sehingga mencuri dianggap hal biasa. Di mana letak empati dan nurani mereka, ketika korupsi jelas-jelas membuat orang lain menderita? Apa isi kepala dan hati mereka, ketika perbuatan mencuri itu dilakukan dengan kesadaran dan keberanian penuh?

Mungkin muncul pertanyaan sederhana: apakah mereka tidak percaya Tuhan?

Tentu percaya! Bahkan di antara para koruptor itu, ada yang taat beragama, rajin beribadah, dan dikenal sebagai dermawan. Tapi di mana Tuhan saat mereka korupsi? Apakah tiba-tiba Tuhan menjadi buta, sehingga tak melihat apa-apa?

Pertanyaan lain yang tak kalah sederhana: apakah mereka tidak percaya dosa?

Tentu, dengan pengetahuan yang mereka miliki, mereka pasti percaya. Tapi mengapa mereka tetap berani melakukannya? Bagaimana mereka akan menanggung dosa atas perbuatannya? Bagaimana mereka akan meminta maaf dan memohon ampunan kepada ribuan atau jutaan manusia yang hak-haknya telah mereka curi? Bagaimana mereka akan bertanggung jawab atas penderitaan dan kesulitan hidup yang ditimbulkan akibat perbuatan mereka?

Namun, mungkin pertanyaan-pertanyaan itu kini dianggap kuno, tak lagi berlaku. Tuhan hanya hidup dalam kata-kata dan mimbar-mimbar. Dalam praktik kehidupan, Tuhan telah ‘mati’. Sepertinya, tak ada lagi Tuhan dalam birokrasi, penyelenggaraan negara, atau kehidupan sosial politik.

Atau mungkin sekarang telah lahir jenis Tuhan baru. Tuhan yang lebih relevan dengan keadaan. Tuhan  ada, tapi buta, tuli, dan tak berdaya. Mungkin.

Februari 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *