Modernisasi dalam Perpektif Konstitusi

Modernisasi dalam Perspektif Konstitusi dan Kebudayaan
Kemerdekaan menurut konstitusi (Pembukaan UUD 1945, alinea pertama) adalah hak setiap bangsa. Kemerdekaan dinyatakan agar supaya setiap bangsa dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas (alinea ketiga). Merdeka, dalam hal ini, bukan semata bebas dari cengkeraman kolonial. Sebagai bangsa merdeka, Indonesia bebas menentukan tujuan hidup dan memilih cara yang harus ditempuh sesuai dengan modal sejarah, budaya, dan berbagai potensi yang dimilikinya.
Setiap bangsa memiliki sejarah dan budaya yang membentuk jati dirinya. Dari situlah seharusnya arah dan tujuan berbangsa ditetapkan. Gagasan pembangunan, misalnya, harus diletakkan sebagai upaya mengembangkan jati diri bangsa dengan segala potensinya. Kuda-kuda pembangunan haruslah bertolak dari dalam diri bangsa untuk mencapai apa yang menjadi harapan bersama seluruh rakyat.
Di sisi lain, Bangsa Indonesia juga harus bergerak beriring dengan situasi zaman. Setiap bangsa akan senantiasa bersinggungan dengan budaya bangsa lain. Persinggungan itu menimbulkan interaksi, di mana satu dengan yang lain akan terjadi “transaksi”: saling memberi dan menerima. Dinamika ini menciptakan proses penyesuaian-penyesuaian yang tak terelakkan.
Salah satu arus besar kebudayaan itu adalah modernisasi. Seluruh bangsa di dunia ini tidak bisa menghindar dari gerak modernisasi yang saat ini menjadi arus global.
Modernisasi oleh sebagian ahli disebut sebagai gejala perubahan sosial, yakni suatu gerak perubahan dari tatanan lama menuju tatanan baru (masa kini)—dari tatanan tradisional bergerak menuju tatanan modern.
Modernisasi juga dipandang sebagai sistem perilaku dan cara berpikir ilmiah, suatu alam pikir dan tindakan yang berbasis ilmu pengetahuan serta teknologi. Dengan demikian, modernisasi adalah satu arus perubahan yang membawa “paket lengkap” sistem kehidupan, mulai dari perilaku hingga gagasan-gagasan yang menyertainya.
Ide-ide modernisasi ini bergerak secara masif dalam kehidupan bangsa kita, lantaran masuk melalui banyak pintu: pendidikan, tatanan sosial, pemerintahan, ekonomi, hingga kebudayaan. Hampir tidak ada ruang yang tak terjamah dinamika modernisasi.
Lantas, bagaimana menghadapi situasi semacam ini, sementara konstitusi memberikan amanat agar bangsa ini berkehidupan kebangsaan yang bebas? Apakah modernisasi merupakan pilihan yang harus diterima begitu saja, ataukah pertanyaannya justru sejauh mana modernisasi dapat diterima?
Harus disadari bahwa modernisasi sejatinya adalah gerakan budaya yang mula-mula lahir dari konstelasi sejarah dan budaya Eropa masa Renaisans, dan semakin menguat setelah Revolusi Industri. Modern pada dasarnya adalah merek budaya Eropa yang di dalamnya memuat alam pikir khas: individualisme, materialisme, serta orientasi pada kemajuan masyarakat industri. Modernisasi adalah suatu gerakan menuju tatanan masyarakat industri, yang merupakan kelanjutan (kontinuitas) dari kebudayaan Eropa abad pertengahan.
Dengan pandangan sederhana di atas, apakah kita sebagai bangsa merdeka akan menempuh jalan kebudayaan modern dengan segala pernak-perniknya? Atau sejauh mana kemodernan itu bisa diterima tanpa harus meninggalkan dan menanggalkan kebudayaan sendiri?
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pembangunan seharusnya merupakan pergerakan dari dalam diri kebudayaan. Gerak pembangunan harus mampu merasakan dan meresapi alam batin, pikiran, dan harapan masyarakat. Sementara itu, modernisasi betapapun hebat dan gegap-gempitanya, harus diletakkan sebagai dinamika eksternal yang disikapi melalui penyesuaian kreatif. Segala yang datang dari luar harus mampu dicerna di dalam “lambung kebudayaan” kita untuk kemudian diterima, ditolak, atau sekadar disikapi secara kreatif.
Namun, di situlah masalahnya. Kuda-kuda kebudayaan kita terasa tidak cukup kuat untuk disangga oleh para punggawa bangsa, terutama dalam menghadapi arus modernisasi. Saat ini kita nyaris tidak mampu merealisasikan semangat kemerdekaan yang konsekuensinya adalah berdiri di atas kaki sendiri, untuk menegakkan kehidupan kebangsaan yang bebas—yang berarti berani menentukan tujuan dan cara hidup kita sendiri.
Rasanya, saat ini kita lebih memilih menerima modernisasi sebagai ikon, harapan, dan cita-cita kita sebagai bangsa. Arah pembangunan, ukuran keberhasilan, cara-cara yang ditempuh, serta instrumen yang digunakan, hampir sepenuhnya modernis. Pilihan itu sama halnya dengan kita sedang dipersiapkan menjadi “manusia baru” atau “manusia lain” yang tidak lahir dari rahim sejarah dan budaya sendiri. Jika pilihan itu benar, maka telah terjadi pengingkaran atas konstitusi dan cita-cita kemerdekaan.